CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 14 Januari 2009

PENGEMBANGAN STRATEGI BELAJAR BAHASA KEDUA: Sebuah Tawaran dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Sebagai bahasa Asing


PEMBELAJARAN DAN PEMEROLEHAN BAHASA
Pembelajaran adalah pengetahuan yang disadari atau yang disengaja tentang kaidah bahasa yang tidak secara khusus mengarah pada kefasihan atau kelancaran percakapan dan pengetahuan tersebut diperoleh dari pengajaran formal (Nunan, 1999). Adapun pemerolehan terjadi secara tidak disadari dan spontan yang mengarah pada kelancaran/kefasihan percakapan dan muncul dari penggunaan bahasa secara alamiah. Beberapa ahli berpendapat bahwa pembelajaran tidak dapat memberikan sumbangan terhadap pemerolehan. Perolehan yang disadari dalam pengetahuan tidak dapat mempengaruhi perkembangan bahasan yang tidak disadari.
dan
Perbedaan antara kedua istilah tersebut semestinya tidak dilihat setajam itu. Istilah pembelajaran dan pemerolehan hendaknya dipandang sebagai rentangan hubungan potensial dari suatu pengalaman. Perbedaan Pengetahuan antara yang disadari dengan yang tak disadari begitu samar. Kita tidak dapat membedakan istilah pembelajaran dengan pemerolehan secara meyakinkan Brinton (1989). Ada ahli yang berpendapat bahwa beberapa elemen bahasa pertama-tama digunakan secara sadar kemudian menjadi tidak disadari atau otomatis melalui praktik penggunaan Gardner dan Lambert (1972). Sementara ahli lain berpendapat bahwa aspek pemerolehan dan pembelajaran diperlukan untuk kompetensi komunikatif, khususnya pada level keterampilan yang lebih tinggi (Berns, 2001) . Untuk alasan-alasan seperti itu kontinum pembelajaran-pemerolehan dipandang lebih akurat daripada diktonomi dalam rangka bagaimana kemampuan bahasa berkembang.
Dalam tulisan ini istilah pembelajaran digunakan sebagai kependekan dari frase pembelajaran dan pemerolehan. Istilah pembelajar bahasa atau pembelajar saja digunakan untuk merujuk pemeroleh bahasa atau pembelajar.
Strategi pembelajaran/belajar bahasa memberikan sumbangan pada seluruh bagian kontinum pembelajaran-pemerolehan. Strategi pembelajaran dalam buku ini digunakan untuk merujuk pada strategi yang meningkatkan bagian-bagian dari kontinum pembelajaran-pemerolehan.
Orientasi pada Proses
Perhatian berpindah dari fokus yang terbatas pada pertanyaan apa yang dipelajari atau yang diperoleh siswa yang jabawannya mengacu pada produk atau outcome kepada fokus yang lbih luas yang juga mencakup bagaimana siswa memperoleh bahasa dengan kata lain proses berlangsungnya pembelajaran dan pemerolehan.
Perhatian baru ini melibatkan berbagai faktor proses yang meliputi: perkembangan bahasa antara, jenis kesilapan dan kesalahan yang dibuat oleh pembelajar dan alasan munculnya, adaptasi sosial dan emosional pembelajar terhadap bahasa dan budaya baru, bentuk dan jenis aktivitas pembelajar di dalam dan di luar kelas, dan reaksi pembelajar terhadap teknik dan metode khuss kelas serta terhadap pengalaman bahasan di luar kelas. Orientasi proses juga mengimplikasikan perhatian yang seksama terhadap strategi pembelajar dalam memperoleh keterampilan berbahasa (Rebecca, (1990).
Orientasi proses juga menyarankan kita untuk memperhatikan input. Input ini mencakup berbagai karakteristik guru dan siswa yang meliputi: inteligensi, jenis kelamin, kepribadian, gaya mengajar dan eblajar secara umum, sikap, kepribadian, dan seterusnya. Input juga mencakup berbagai faktor sosial dan institusional.
Empat Keterampilan Berbahasa
Istilah empat keterampilam berbahasa atau empat keterampilan bahasa mencakup keterampilan menyimak, membaca, membaca, berbicara, dan menulis. Keterampilan (skill) secara sederhana berarti kemampuan, keahlian, kecakapan. Keterampilan diperoleh secara bertahap selama perkembangan bahasa.
Bahasa Kedua dan Bahasa Asing
Bahasa target atau bahasa yang dipelajari meliputi bahasa kedua dan bahasa asing. Dalam kaitannya dengan pembelajaran perlu ditegaskan perbedaan kedua istilah tersebut. Perbedaan antara keduanya dilihat dalam kaitannya dengan dimana bahasa itu digunakan dan apa fungsi sosial serta fungsi komunikatif bahasa tersebut.
Bahasa kedua memiliki fungsi sosial dan fungsi komunikatif dalam masyarakat tempat bahasa tersebut dipelajari, misalnya di Belgia atau Kanada orang memerlukan bahasa lebih dari satu bahasa untuk alasan sosial, ekonomi dan profesional. Sementara itu, bahasa asing tidak memiliki fungsi sosial dan komunikatif dalam masyarakat tempat bahasa tersebut dipelajari. Bahasa tersebut lebih banyak digunakan untuk berkomunikasi di tempat lain, misalnya bahasa Inggris di Perancis.
Perbedaan kedua istilah tersebut berimplikasi pada strategi pembelajaran bahasa. Beberapa strategi pembelajaran dapat lebih mudah digunakan pada konteks bahasa kedua daripada latar bahasa asing. Bagaimanapun, sebagian besar strategi pembelajaran dapat diaplikasikan sama baiknya pada kedua konteks.

KOMUNIKASI, KOMPETENSI KOMUNIKATIF, DAN KONSEP-KONSEP TERKAIT
Komunikasi adalah pertukaran dua arah antara dua orang atau lebih yang meningkatkan kerja sama dan menciptakan kebersamaan/kesepakatan/kebiasaan. Komunikasi adalah sesuatu yang dinamis tidka statis dan bergantung pada negoisasi makna antara dua atau lebih orang yang berbagi pengetahuan melalui bahasa yang digunakan.
Kompetensi komunikatif adalah kompetensi atau kemampuan untuk berkomunikasi baik dengan bahasa lisan maupun bahasa tulis dan dalam keempat keterampilan berbahasa. Ada sementara pendapat yang tidak benar bahwa komunikasi terjadi hanya melalui media lisan. Padahal, sebenarnya pengertian komunikasi mencakup semua aspek keterampilan.
Berikut adalah model yang memberikan pemahaman tentang empat bagian definisi dari kompetensi komunikatif.
(1) Kompetensi gramatikal atau ketepatan adalah suatu tingkat yang menunjukkan pengguna bahasa menguasai kode linguistik meng mencakup kosakata, tatabahasa, pelafalan, ejaan, dan formasi kata.
(2) Kompetensi sosiolingistik adalah kondisi yang menunjukkan bahwa tuturan seseorang dapat digunakan dan dimengerti secara tepat/sesuai dalam berbagai konteks sosial. Kompetensi ini meliputi pengetahuan tentang tindak tutur seperti mempersuasi, meminta maaf, dan mendeskripsi.
(3) Kompetensi wacana adalah kemampuan untuk mengkombinasikan ide-ide untuk membangun kohesi dalam bentuk koherensi dalam pikiran setingkat di atas level kalimat tunggal.
(4) Kompetensi strategis adalah kemampuan untuk menggunakan strategi seperti gerak isyarat atau berbicara terus kata-kata yang tidak diketahui untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan.
Strategi Belajar/Pembelajaran
Konsep strategi memiliki makna rencana, langkah, atau tindakan yang disadari yang mengarah pada keberhasilan suatu tujuan. Definisi umum tentang strateti belajar/pembelajaran menyatakan bahwa belajar/pembelajaran adalah langkah atau pekerjaan ayng dilakukan oleh pembelajar untuk membantu pemerolehan, menyimpan, memperoleh kembali, dan menggunakan informasi. Dengan kata lain,, strategi belajar adalah tindakan khusus yang diambil pembelajar untuk membuat belajar menjadi lebih cepat, lebih dapat dinikmati, lebih mengarah pada diri sendiri, lebih efektif, dan lebih dapat dioperkan kepada situasi baru.


CIRI-CIRI STRATEGI BELAJAR/PEMBELAJARAN BAHASA
(1) Memberikan sumbangan kepada tujuan utama, kompetensi komunikatif.
(2) Memberi kesempatan siswa tnuk menjadi lebih self-directed
(3) Memperluas peran guru
(4) Berorientasi pada masalah
(5) Perilaku/tindakan khas yang dilakukan pembelajar
(6) Melibatkan banyak aspek dan pembelajar, tidak hanya aspke kognitif.
(7) Mendukung belajar, baik secara langsung maupun tidak langsung
(8) Tidak selalu dapat diamati
(9) Sering disadari/disengaja
(10) Dapat diajarkan
(11) Fleksibel
(12) Dipengaruhi oleh berbagai faktor
Kompetensi Komunikatif sebagai Tujuan Utama
Senua strategi belajar yang tepat berorientasi pada tujuan kompetensi komunikatif. Perkembangan kompetensi komunikatif memerlukan interaksi nyata antar pembelajar dengan menggunakan bahasa yang bermakna dan sesuai dengan konetks. Strateti belajar membantu pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif dalam komunikasi otentik.
Mudah diketahui bahwasannya pada umumnya strategi belajar menstimulasi pertumbuhan kompetensi komunikatif, misalnya, strategi metekognitif membantu pembelajar dalam mengatur kognisinya dan memfokuskan, merencanakan, serta menilai kemajuan yang dialami dalam hal kompetensi komunikatif. Strategi afektif mengembangkan rasa percaya diri dan ketekunan yang diperlukan untuk melibatkan mereka secara aktif dalam belajar bahasa, suatu hal yang diperlukan untuk mencapai kompetensi komunikatif. Pendek kata, berbagai strategi belajar membantu perkembangan kompetensi komunikatif.
Sebagaimana kompetensi pembelajar yang terus tumbuh, strategi dapat beroperasi dengan cara yang khas untuk membantu perkembangan aspke-aspek penting tertentu dair kompetensi seperti aspek gramtikal, sosiolinguistik, wacana, dan unsur-unsur strategis. Contohnya, strategi memori seperti penggunaan pengimajinasian dan reviu terstruktur (stuctured-review) serta strategi kogniti seperti penalaran deduktif dan penggunaan analisis kontrastif dapat memperkuat akurasi gramatikal. Strategi sosial seperti bertanya, bekerja sama dengan penutur asli, komunikasi dengan teman sebaya, dan menjadi sadar akan budaya merupakan sarana yang kuat bagi tumbuhnya kompetensi sosiolinguistik (Nunan, 1999).
Arah-Diri (self-direction) yang lebih besar untuk pembelajar
Self-direction merupakan hal yang penting bagi pembelajar bahasa karena mereka tidak selalu didamping dan dibimbing guru sebagaimana jika mereka menggunakan bahasa di luar kelas. Oleh karena itu self-direction merupakan hal yang hakiki untuk perkembangan aktif dari kemampuan dalam bahasa baru (yang dipelajari).
Dalam kenyatannya, karena kondisi budaya dan sistem pendidikan banyak pembelajar bahasa (pada umumnya orang dewasa) bersikap pasif dan terbiasa untuk selalu “disuapi”. Sikap seperti ini membuat kegiatan belajar lebih sulit dan harus diubah. Dalam hal ini pembelajar akan berhasil jika a memulai belajar dengan tanggungjawab yang lebih tinggi untuk pembelajaran mereka sendiri.
Self-direction merupakan fenomena pertumbuhan gradual terus tumbuh dan pembelajar menjadi lebih nyaman dengan ide-ide dari tanggungjawabnya sendiri. Pertumbuhan self-direction siswa emmperoleh kepercayaan diri yang lebih tinggi, keterlibatan dan kemampuan yang lebih besar.




Peran Baru untuk Guru
Secara tradisional guru dipandang sebagai sosok yang otoriter yang identik dengan peran orang tua, isntruktur, direktur, manager, hakim, pemimpin, penilai, pengontrol dan juga dokter yang harus “menyembuhkan” ketidaktahuan pembelajar. Kondisi semacam ini akan menghalangi komunikasi, khususnya pada kelas bahasa sebab peran-peran semacam ini memaksa seluruh komunikasi terjadi melalui guru.
Sebagian guru merisaukan adanya perubahan peran guru, sementara yang lain menerima dengan baik fungsi baru mereka sebagai fasilitator, pembantu, pembimbing, konsultan, penasihat, koordinator, nara sumber, pendiagnosis, dan kmunikator. Tugas baru mereka juga meliputi mengidentifikasi stratefi belajar siswa, menyajikan latihan strategi belajar, dan emmbantu sisw amenjadi lebih mandiri.dalam peran barunya ini tidak berarti guru sama sekali mengabaikan tugas-tugas managerial dan instruksional merek ayang lama. Hal tersebut masih digunakan, tetapi tidak begitu dominan. Peran baru guru membuat mereka lebih variatif dan kreatif. Stratus mereka bergantung pada kualitas dan pentingnya hubungan mereka dengan pembelajar.

CIRI-CIRI LAIN
Berorientasi pada Masalah
Strategi belajar yang digunakan karena ada masalah, tugas yang harus diselesaikan dan tujuan yang harus dicapai, misalnya, penggunaan strateti penalaran atau tebakan untuk memahami bacaan dalam bahasa asing.
Berbasis pada Tindakan
Strategi belajar bahasa adalah tindakan atau tingkah laku khusus yang diperlukan pembelajar untuk meningkatkan belajar mereka, misalnya membuat catatan, merencanakan tugas bahasa, melakukan evaluasi diri, serta menduga secara cerdas/tepat. Tindakan-tindakan ini dipengaruhi oleh karakteristik pembelajar yang lebih bersifat umum seperti gaya belajar, motivasi dan sikap.

Keterlibatan Aspek-aspek di Luar Kognisi
Strategi bahasa tidak hanya melibatkan fungsi kognitif seperti keterlibatan pemrosesan secara mental dan manipulasi bahasa baru, melainkan juga mencakup fungsi metakognitif seperti merencanakan, mengevaluasi dan sebagainya. Pada waktu yang lampau kondisi ini pernah tidak mendapat cukup perhatian.
Dukungan Langsung dan Tidak Langusng bagi Belajar
Strategi langsung adalah strategi yang melibatkan belajar lansung dan penggunaan materi pelajaran, dalam hal ini bahasa baru/ssaran. Apaun strategi tak langsung mencakup strategi metakognitif, afektif, sosial yang memberikan sokongan secara tidak langsung namun sangat berarti bagi pembelajaran. Kedua jenis strategi sama-sama penting dalam kapasitasnya masing-masing.
Derajat Keteramatan
Tidak semua strategi belajar bahasa dapat diamati, khususnya yang melibatkan asosiasi mental. Belum lagi sulitnya mengamati strategi belajar yang digunakan siswa di luar kelas.
Derajat Kesadaran
Kadangkala strategi yang digunakan pembelajarn berlangsung secara instingtif, tidak terpikirkan, dan tidak berlangsung secara kritis. Hal ini mungkin dapat diatasi dengan penilaian dan pelatihan strategi.
Keterajaran
Tidak seperti karakteritsitk pembelajar yang sulit diubah, strategi belajar mudah diajarkan dan diubah. Hal ini dpat dilakukan melalui strategi. Pembelajar terbaik dapat meningkatkan penggunaan strategi mereka melalui kegiatan tersebut. Pelatihan strategi membantu mambimbing siswa untuk menjadi lebih sadar akan penggunaan strategi dan lebih ahli dalam memilih dan menentukan strategi yang tepat. Masih banyak hal-hal positif yang dapat diperoleh melalui strategi ini.

Keluwesan (flexibility)
Strategi berlajar bersifat fleksibel. Ia tidak selalu ditemui dalam rangkaian yang dapat diramalkan atau dalam pola yang baku. Ada persoalan individual dalam hal pembelajar memilih, mengkombinasikan, dan merangkaikan strategi .
Kadangkala pembelajar melakukan kombinasi strategi melalui cara yang dapat diramalkan. Contohnya, dalam membaca, pembelajar sering melakukan skimming atau scanning kemudian emmbaca lebih intensif dengan menggunakan tebakan untuk mengatasi kesenjangan yang muncul, dan akhirnya dia mengorganisasikan materi dengan membuat catatan atau ringkasan. Beberapa strategi belajar di dalamnya berisi rangkaian langkah-langkah internal seperti penalaran deduktif pertama-tama memerlukan ingatan terhadap kaidan dan kemudian penerapannya dalam situasi baru (Byrnes, 1998).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Strategi
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan strategi adlah derajad kesadaran, latar pembelajaran, persyaratan tugas, harapan guru, usia, jenis kelamin, nasionalitas/etnisitas gaya belajar secara umum, kepribadian, motivasi dan tujuan belajar bahasa.
Pembelajar yang lebih sadar dan lebih maju akan menggunaan strategi dengan lebih bagus. Kondisi tugas membantu mereka dalam memilih strategi. Harapan guru yang disampaikan melalui pengajaran kelas dan metode testing dengan kuat mempengaruhi pilihan strategi siswa, misalnya pembelajaran yang ditekankan pada penguasaan tatabahasa mendorong dipilihnya strategi analisis dan penalaran daripada strategi umum belajar bahasa.
Pembelajar yang lebih sadar dan lebih maju akan menggunakan strategi dengan lebih bagus. Kondisi tugas membantu mereka dalam memilih strategi. Harapan guru yang disampaikan melalui pengajaran kelas dan metode testing dengan kuat mempengaruhi pilihan strategi siswa, misalnya pembelajaran yang ditekankan pada penguasaan tata bahasa mendorong dipilihnya strategi analisis dan penalaran daripada strategi umum untuk berkomunikasi.
Berkaitan dengan faktor usia, pembelajaryang lebih tua menggunakan strategi yang berbeda dengan yang berusia lebih muda. Dari sudur jenis kelamin, wanita lebih luas dalam menggunakan strategi dibanding laki-laki.
Pembelajar yang bermotifasi tinggi lebih mungkin menggunakan strategi yang tepat dibanding yang bermotivasi rendah. Motivasi berhubungan dengan tujuan belajar bahasa, yang merupakan kunci lain penggunaan strategi.
Sistem Baru Strategi Belajar/Pembelajaran Bahasa
Pada bagian ini dipaparkan klasifikasi strategi yang lebih detail dibandingkan klasifikasi serupa yang pernah ada. Klasifikasi strategi tersebut ditampilkan dalam bentuk visual dan verbal.
Saling Mendukung
Untuk memahami bahwa terjadi hubungan saling mendukung dan saling membantu diantara strategi langsung dan strategi tak langsung serta antar enam kelompok strategi, dipakai analogi dari teater.
Strategi utama yang pertama, yakni strategi langsung yang terlibat langsung dengan bahasa sasaran dapat diibaratkan seperti pemain di atas panggung yang bekerja dengan bahasa tersebut dalam berbagai tugas dan situasi spesifik. Dalam hal ini strategi memori digunakan untuk mengingat dan mengolah kembali informasi. Strategi koginitif digunakan untuk memahami dan memproduksi bahasa. Adapun strategi kompensasi digunakan untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan.
Kelas utama kedua, yakni strategi tak langsung berfungsi sebagai manajemen umum dari kegiatan belajar.Strategi ini dapat diibaratkan seperti sutradara sebuah permainan drama. Dalam hal ini strategi metakognitif digunakan untuk mengkoordinasikan proses belajar. Strategi afektif digunakan untuk mengatur emosi. Strategi sosial untuk belajar dengan orang/siswa lain. Sutradara memegang berbagai fungsi seperti memusatkan, mengorganisasikan, membimbing, mengecek, mengoreksi, memandu, mendorong, dan menyemangati pemain.
Sutradara adalah suatu bimbingan dan dukungan internal pada pemain. Fungsi sutradara dan pemain menjadi bagian dari pembelajar.
Guru memberi kesempatan dan mendorong siswa untuk lebih banyak mengambil peran sutradara seperti perannya pada masa lalu, sekarang siswa lebih banyak mengatur belajarnya sementara fungsi guru jauh dari bersifat memerintah melainkan lebih bersifat memfasilitasi.
Terjadi saling tumpang tindih diantara kelompok-kelompok strategi. Satu contoh, kategori metakognitif membantu siswa utnuk mengatur kognisi mereka dengan mengukur bagaimana mereka belajar dan dengan merencanakan tugas bahasa di masa mendatang/selanjutnya. Akan tetapi hal tersebut juga sering memerlukan penalaran yang dalan kenyatannya merupakan bagian dari strategi kognitif.
Keberadaan strategi belajar/pembelajaran bahasa masih perlu dibuktikan melalui praktek penggunaannya di dalam kelas serta melalui penelitian. Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan yang bulat tentang apa itu strategi, berapa jumlah strategi yang ada, bagaimana strategi itu dikategorisasikan dan seterusnya. Rumusan para ahli berbeda-beda tentang hal itu.
Penelitian tetap berlanjut untuk memperlihatkan/menunjukkan bahwa strategi membantu pembelajar dalam mengontrol belajarnya dan menjadi lebih proficient. Berdasarkan pengalaman guru, terindikasikan bahwa sistem strategi yang disajikan dalam buku ini dirasakan tepat guna sebagai cara untuk menguji strategi-strategi tertentu.



Daftar Rujukan
Nunan, david. 1999. Second Language Teaching and Learning. Boston, Mass: Heinle and Heinle Publishers.

Oxford, Rebecca L. 1990. Language Learning Strategies: What Every Teacher
Should Know. New York: Newbury House Publishers.

Byrnes, H. 1998. Learning Foreign and Second Languages. New York: The Modern
Association of America.

Gardner, R.C. dan Lambert, W. 1972. Attitude and Motivation in Second Language
Learning. Rowley, Mass.: Newburry House.

Klein, Wofgang. 1986. Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Brinton, D. et al. (1989). Content-based second language instruction. Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Berns, R.G. dan Erickson, P.M. 2001. Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for The New Economy. The Highlight Zone: Research @ Work no. 5. http://www.nccte.com/publications/infosynthesis/highlightzone/highlig…/highlight05-CTL.htm Download August 26, 2001.

[+/-] Selengkapnya...

STRATEGI PEMBELAJARAN

Strategi pengajaran merupakan hal yang penting dalam kegiatan bel-ajar meng¬¬ajar di kelas, karena strategi dapat menciptakan kondisi bel¬ajar yang men¬dukung pencapaian tujuan pembelajaran. Selain itu, strategi peng¬ajaran yang di¬pilih dan dipergunakan dengan baik oleh guru dapat mendo¬rong siswa untuk aktif mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas.
Pemilihan strategi mengajar harus dilandaskan pada pertimbangan me¬¬nem¬¬¬¬patkan siswa sebagai subjek belajar yang tidak hanya menerima se-cara pa¬sif apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus menempatkan sis-wanya se¬bagai in¬san yang secara alami memiliki pengalaman, penge¬ta¬¬huan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individual maupun secara berkelompok. Strategi yang dipilih guru adalah stra-tegi yang dapat membuat sis¬wa¬nya mempunyai keya¬kinan bahwa dirinya mampu belajar dan dapat meman¬faat¬kan potensi sis¬wa seluas-luasnya. Di samping itu, pemilihan strategi amat bergantung pada tujuan pem¬belajaran yang hen¬dak dicapai, macam dan jumlah siswa yang terlibat di da¬lam pro¬ses pembel¬ajaran, dan lama waktu yang tersedia untuk mencapai tu¬juan yang dimaksud.
Untuk keperluan itu, diperkenal¬kan beberapa ciri kegiatan pembel-ajaran efektif yang dapat menuntun guru dalam memilih dan menentukan stra¬tegi yang tepat di dalam proses pembelajaran. Dengan pemilihan dan penentuan strategi yang tepat, akan membantu meningkatkan minat tingkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Ciri-ciri pembelajaran efektif yang dimaksudkan adalah sebagai berikut ini.
(i) Pembalikan Makna dan Hakikat Belajar
Proses membangun makna dan pemahaman terhadap informasi, kon¬sep, dan pe¬ngalaman dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain melalui proses penyaringan dengan persepsi, pikiran, atau penge¬tahuan awal, dan perasaan siswa. Mengajar merupa¬kan kegiatan par¬tisipasi dan fasilitasi guru dalam membangun pe¬ma¬haman siswa dalam wujud pikiran dan tindakan; seperti bertanya secara kritis, me¬min¬ta keje¬las¬an, atau me-nyajikan situasi yang tampak bertentangan dengan pe¬ma¬haman siswa se-hingga siswa 'terdorong' untuk memperbaiki pema¬ha¬m¬an¬nya. Namun, par-tisipasi dan fasilitasi guru jangan sampai mere¬but oto¬ritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya dan harus selalu me¬nem¬¬pat¬kan pemba-ngun¬an pemahaman itu sebagai tanggung jawab siswa itu sendiri.
(ii) Berpusat pada siswa
Setiap siswa adalah individu yang unik, siswa yang satu berbeda de¬ngan siswa lainnya, misalnya dari aspek minat, kemam¬puan, kese¬nang¬an, pengalaman, cara, dan gaya belajar. Sebagian siswa lebih mu¬dah belajar dengan dengar-baca (audio-verbal), siswa lain lebih mudah de¬ngan melihat (visual), dan sebagian lainnya dengan cara gerak (ki¬nes¬thetic). Hal ini menuntut kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pem-belajaran, waktu belajar, alat/media belajar, dan cara peni¬laian yang be-ragam sesuai karakteristik siswa. Artinya, kegiatan pem¬bel¬ajaran ha¬rus mem¬per¬hatikan ba¬kat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, mo-tivasi bel¬ajar, dan latar belakang sosial siswa sehing¬ga dapat men¬dorong siswa untuk mengembangkan potensi yang dimi¬liki¬nya secara optimal.
(iii) Belajar dengan mengalami
Pengalaman langsung melalui indrawi yang me¬mungkinkan mereka mem¬¬¬peroleh informasi dengan melihat, mendengar, meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium. Kegiatan pembelajaran harus menyediakan peng¬a¬laman nyata dalam kehidupan sehari¬-hari dan atau du¬nia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari; Untuk beberapa topik yang tidak mungkin dise¬diakan peng¬a¬laman nyata, guru dapat menggantikannya dengan model atau situasi bu¬atan dalam wujud simulasi atau pengalaman melalui alat dengar¬-pan¬dang (audio-visual).
(iv) Mengembangkan keterampilan kognitif, sosial, dan emosional
Kegiatan pem¬belajaran memberi peluang dan mendorong siswa untuk membangun pemahaman dengan meng¬komunikasikan gagasannya ke-pa¬da siswa lain atau guru. Melalui interaksi lingkungan sosialnya, siswa akan bekerja sama dalam kelompok yang dapat mempertajam, memper-dalam, memantapkan, atau me¬nyem¬purnakan pemahaman dan gagas¬an itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau saling meng¬isi. Kegiatan belajar berkelom¬pok atau berpasangan memungkinkan sis¬wa bersosialisasi dengan meng¬hargai perbedaan pendapat, sikap, ke¬mam-puan, dan prestasi dan berlatih untuk bekerja sama yang dapat me¬num-buhkembangkan rasa empati dalam diri siswa yang akhirnya dapat mem-bangun saling pengertian dan hidup bersama secara har¬monis (learning to live together).
(v) Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan
Kegiatan pembelajaran harus dapat me¬¬num¬¬buhkan rasa ingin tahu, ima-jinasi, dan fitrah ber-Tuhan yang me¬ru¬pakan fitrah siswa sebagai ma¬nu¬sia. Rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sementara, rasa fitrah ber¬Tuhan merupa-kan embrio atau cikal bakal untuk bertaqwa kepada Tuhan.
(vi) Belajar sepanjang hayat
Kemampuan dan kemauan untuk belajar sepan¬jang hayat agar bisa ber-tahan (survive) dan berhasil (sukses) dalam meng¬hadapi setiap ma¬salah sambil menjalani proses kehidupan sehari-hari dita¬namkan de¬ngan bekal keterampilan belajar yang meliputi pengembangan rasa per¬caya diri, ke-ingintahuan, kemampuan memahami orang lain, ke¬mam¬¬puan berko¬mu-nikasi dan bekerja sama supaya mendorong dirinya un¬tuk senantiasa bel-ajar, baik secara formal di sekolah maupun secara in¬formal di luar kelas. Kegiatan pembelajaran perlu mendorong siswa un¬tuk dapat melihat diri-nya secara positif, mengenali dirinya baik kelebihan mau¬pun ke¬ku-rangannya untuk kemudian dapat mensyukuri apa yang telah di¬anu-gerahkan Tuhan YME kepadanya.
(vii) Perpaduan kemandirian dan kerjasama
Kegiatan pembelajaran memberi peluang yang menuntut dan menan¬tang siswa untuk bekerja sama, berkom¬petisi, dan mengembangkan so¬li¬daritas¬-nya. Kegiatan-kegiatan itu memberi¬kan kesempatan kepada sis¬wa untuk me¬ngembangkan semangat berkom¬petisi secara sehat untuk memperoleh penghar¬gaan, bekerja sama, dan solidaritas. KBM perlu me¬¬nyediakan tugas-tugas yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri maupun bekerja secara kelompok.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran efektif tersebut, maka ada beberapa strategi yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru dalam melaksanakan pem¬¬¬bel¬ajaran yang efektif, di anta¬ranya adalah (1) strategi pembelajaran ber-basis masa¬lah, (2) strategi pembelajaran inquiry & discovery, (3) strategi pem-belajaran berbasis pro¬yek/tugas, (4) strategi pembel¬ajaran kooperatif, (5) pembelajaran partisipatori, (6) strategi pembelajaran scaffolding.
Semua strategi pembelajaran tersebut didisain untuk mengoptimalkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan untuk mem-bantu siswa secara kreatif merekonstruksi sendiri pemahamannya terhadap topik-topik pembelajaran. Di samping itu, masing-masing strategi mengan-dung elemen-elemen strategi interaksi pembelajaran yang dapat menunjang pe¬nguatan aspek pribadi, sikap, dan perilaku tertentu siswa yang diharapkan dapat menjadi dampak pengiring pembelajaran.
1. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah dunia nyata se¬bagai kon¬teks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan kete-rampilan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan dan kon¬sep esen¬sial dari materi pelajaran. Pembelajaran bermakna hanya dimung¬kinkan terjadi bila siswa dapat mengerahkan proses berpikir tingkat tinggi, seperti pada level analisis, sintesis, dan evaluasi. Ka¬rena itu, guna merang¬sang siswa berpikir tingkat tinggi, mereka perlu di¬orientasikan pada situasi ber-masalah termasuk bagaimana belajar, dengan menggunakan fenomena di dunia nyata sekitar
Pembelajaran berbasis masalah dapat ditempuh melalui lima tahap se-ba¬gai berikut.
 Tahap 1: orientasi siswa kepada masalah.
Guru menjelaskan tujuan pem¬belajaran dan logistik yang dibutuhkan, serta memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
 Tahap 2: mengorganisasi siswa untuk belajar.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorgani¬sasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
 Tahap 3: membimbing penyelidikan individual dan kelompok.
Guru men¬¬dorong siswa untuk me¬¬ngum¬¬¬¬¬¬¬¬¬pulkan informasi yang sesuai dan me¬laksana¬kan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan peme¬cah-an masalahnya.
 Tahap 4: mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru memban¬tu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka mambagi tugas dengan temannya.
 Tahap 5: menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu siswa me¬¬la¬¬ku¬kan refleksi atau evaluasi terhadap pe¬nye-lidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
2. Strategi Pembelajaran Inquiry & Discovery
Pembelajaran inquiry & discovery mendorong siswa untuk mengalami, melakukan per¬cobaan, dan menemukan sendiri prinsip-prinsip dan konsep yang di¬ajar¬kan. Stra¬tegi pembelajaran inquiry & discovery memiliki beberapa keuntungan, seperti da¬pat mem¬bangkitkan curiosity, minat, dan motivasi sis¬wa untuk terus belajar sampai dapat menemukan jawaban. Di samping itu, melalui penerapan stra¬tegi inquiry & discovery, siswa juga dapat belajar memecahkan masalah secara man¬diri dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis se¬bab mereka harus meng¬analisis dan mengutak-atik data dan informasi.
Secara operasional, pembelajaran inquiry & discovery dapat ditempuh melalui tahapan berikut:
 Sajikan situasi teka-teki (puzzling situation) yang sesuai dengan tahapan perkembangan siswa. Jelaskan prosedur inkuiri dan sajikan masalah.
 Minta siswa mengumpulkan informasi melalui observasi atau berdasar peng¬alaman masing-masing.
 Minta siswa menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gam¬bar, bagan, tabel, atau karya lain.
 Minta siswa mengkomunikasikan dan menyajikan hasil karyanya, mi¬sal¬-nya dalam bentuk penyajian di kelas, menempelkan di majalah dinding, menulis di koran, dsb.
 Dalam penyajian di kelas, bangkitkan tanggapan dan penjelasan siswa lain. Minta tanggapan balik (counter-suggestions) dan selidiki tanggap¬an sis¬wa. Hadapkan mereka dengan demonstrasi-demonstrasi tam¬bah¬an un-tuk meng¬eksplorasi lebih jauh fenomena.
 Ciptakan lingkungan yang dapat menerima jawaban salah tapi masuk akal. Selalu minta siswa memberi alasan atas jawaban-jawaban mere¬ka. Sajikan tugas-tugas yang berkaitan kemudian cermati dan beri balik¬an atas pemikiran yang diajukan siswa.
3. Strategi Pembelajaran Berbasis Proyek/Tugas
Pembelajaran berbasis proyek/tugas (project-based/task learning) di-tandai dengan pengelolaan lingkungan belajar yang memungkin¬kan siswa me¬lakukan penyelidikan terhadap masalah otentik termasuk pen¬dalaman ma-teri dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lain-nya. Dalam pem¬bel¬ajaran berbasis proyek, siswa diberikan tu¬gas atau pro¬yek yang kompleks, cukup sulit, lengkap, tetapi realistik dan kemudian di¬be¬rikan bantuan secukupnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas. Di sam¬ping itu, penerapan strategi pembel¬ajaran berbasis proyek/¬tugas ini mendo¬rong tumbuhnya kompetensi nurturant seperti kreativitas, ke¬mandirian, tanggung jawab, keper¬cayaan diri, dan berpikir kritis dan analitis.
Implementasi pembelajaran berbasis proyek/tugas didasarkan kepada empat prinsip berikut ini.
 Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantang
Guna mempertahankan tingkat keterlibatan siswa dalam proses pem¬bel-ajaran, maka tugas yang diberikan kepada siswa harus cukup ber¬makna dan memiliki tujuan yang jelas. Siswa perlu mengetahui de¬ngan tepat apa yang mereka harus kerjakan, mengapa mereka me¬nger¬jakan pekerjaan itu, dan apa yang dibutuhkan untuk menyele¬sai¬kan pekerjaan itu.
 Menganekaragamkan tugas-tugas
Pilihan tugas yang beraneka ragam dapat menambah daya tarik tugas pe-kerjaan kelas dan pekerjaan rumah. Jika tugas belajar yang dibe¬rikan cu-kup bervariasi, siswa dapat lebih termotivasi dan lebih terlibat aktif dalam menger¬jakannya. Pilihan mengenai tugas belajar tidak ter¬batas dan tidak ada alasan bagi guru untuk membuat jenis tugas yang sama dari hari ke hari.
 Menaruh perhatian pada tingkat kesulitan
Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang dibe¬rikan kepada siswa merupakan satu bahan baku penting untuk menja¬min ke¬ter-libatan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas ter¬sebut. Jika siswa diharapkan untuk bekerja secara man¬¬diri, tugas yang dibe¬ri¬kan harus memiliki tingkat kesulitan yang men¬jamin kemungkinan berhasil tinggi. Siswa tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang dibe-rikan terlalu mudah. Tugas yang baik per¬lu memiliki tingkat kesulitan cu-kup sehingga kebanyakan siswa me¬mandangnya sebagai sesuatu yang menan¬tang, na¬mun cukup mudah sehingga kebanyakan siswa akan me-nemukan pemecah¬annya dan mengerjakan tugas tersebut atas jerih pa-yah sendiri.
 Memonitor kemajuan siswa
Salah satu tugas penting guru adalah memonitor tugas-tugas pe¬ker¬jaan kelas dan pekerjaan rumah. Monitoring tersebut bertujuan un¬tuk me¬nge-tahui apa¬kah siswa memahami tugas mereka melalui peme¬rik¬saan pe-kerjaan siswa dan pe¬ngem¬balian tugas dengan umpan ba¬lik? Guru harus selalu me¬nye¬diakan waktu 5 atau 10 menit untuk ber¬keliling di antara sis-wa yang be¬kerja untuk memastikan apakah mere¬ka memahami dan me-ngerjakan dengan benar tugas yang diberikan. Apabila siswa bekerja ber-kelompok, maka guru hendaknya berada dalam kelompok tersebut secara bergantian dan berke¬liling di antara sis¬wa yang bekerja secara mandiri. Selanjutnya, guru perlu menyiap¬kan waktu untuk mengoreksi pekerjaan yang dihasilkan siswa dan mengembalikan kepada mereka dengan umpan balik, ter¬masuk mem¬beri reinforcement dalam bentuk reward bagi hasil karya yang baik dan catatan-catatan penyempurnaan bagi karya yang belum optimal.
Beberapa contoh tugas/proyek berikut dapat dipilih sebagai peng-alaman belajar untuk beberapa mata pelajaran pada tingkatan sekolah dasar.
 Menggubah syair lagu dan bernyanyi
 Bermain peran
 Menggambar dan mengarang
 Menulis prosa, puisi, pantun, gurindam
 Mengisi teka-teki
 Mengajukan pertanyaan penelitian
 Membuat rangkuman/sinopsis
 Mendemonstrasikan hasil temuan
 Mencari pemecahan soal-soal Matematika
 Membuat soal cerita
 Mengukur panjang, berat, suhu
 Merencanakan dan melakukan percobaan
 Merencanakan dan melakukan penelitian sederhana .
 Membuat buku harian
 Membuat kamus
 Melakukan simulasi dengan komputer
 Mengelompokkan sambil mengidentifikasi (mengenali ciri) benda
 Mengumpulkan dan mengoleksi benda dengan karakteristiknya
 Membuat komik
 Membuat ramalan dan berekstrapolasi
 Membuat grafik, diagram, chart atau grafik
 Membuat jurnal
 Menyiapkan dan melaksanakan pameran
 Menggunakan alat (alat ukur, alat potong, alat tulis)
 Praktek menjadi khatib atau pendeta
 Praktek berceramah
 Membuat poster
 Membuat model (seperti kotak, silinder, kubus, segitiga, lingkaran)
 Menata pajangan
 Menata buku perpustakaan
 Membuat daftarpertanyaan untuk wawancara
 Melakukan wawancara
 Membuat denah
 Membuat catatan hasil penjelasan hasil pengamatan
 Mencari informasi dari ensiklopedia
 Melakukan musyawarah
 Mengunjungi dan menemukan alamat web-site
 Bernegosiasi
 Mendiskusikan wacana dari media cetak/media elektronik
 Membuat cerita gambar
 Membuat resensi buku
 Mengkritisi suatu artikel
 Mengkaji pola tulisan suatu artikel
 Menulis artikel ilmiah popular
 Membuat kamus
 Membuat ensiklopedia
4. Strategi Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam ke¬lom¬pok kecil untuk saling membantu belajar satu sama lain. Strategi pem¬belajaran ini, me-mungkinkan pengembangan sejumlah kompetensi nurtu¬rant pada diri siswa, seperti:
 Mengembangkan keterampil¬an komunikasi, kerja sama, kepekaan so¬sial, tanggung jawab, tenggang rasa, dan penyesuaian sosial.
 Membangun persahabatan, rasa saling percaya, kebiasaan bekerja¬ sa¬ma, dan sikap prososial.
 Memperluas perspektif wawasan, keyakinan terhadap gagasan sendiri, rasa harga diri, dan penerimaan diri.
 Memungkinkan sharing pengalaman dan saling membantu dalam meme-cah¬kan masalah pembelajaran.
 Mengoptimalkan penggunaan sumber belajar dan pencapaian hasil bel-ajar.
Secara operasional, pembelajaran kooperatif dapat diterapkan melalui metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan metode Inves-tigasi Kelompok (Group Investigation)
Pelaksanaan metode Student Team Achievement Divisions ditempuh de¬ngan beberapa tahapan sebagai berikut:
 Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota.
 Setiap tim memiliki anggota heterogen (jenis kelamin, ras, etnik, ke¬mam-puan belajar).
 Tiap anggota menggunakan lembar kerja akademik.
 Tiap anggota saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi.
 Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu dilakukan eva¬luasi oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan yang telah dipelajari.
 Setiap siswa dan setiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar. Siswa atau tim yang meraih prestasi tertinggi atau men¬capai standar tertentu diberi penghargaan.
Metode Invistigasi Kelompok dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:
 Seleksi topik, para siswa memilih berbagai sub-topik dalam satu wilayah ma¬salah umum terkait dengan tujuan pembelajaran.
 Organisasi, para siswa dibagi ke dalam kelompok yang berorientasi pada tu¬gas dan beranggotakan 2 - 6 orang dengan komposisi he¬terogen.
 Merencanakan kegiatan kerjasama, siswa bersama guru meren¬ca¬nakan ber¬bagai prosedur belajar khusus, tugas, dan tujuan umum yang sesuai dengan sub-topik yang telah dipilih.
 Tahap implementasi. Siswa melaksanakan rencana yang telah disu¬sun. Do¬rong siswa menggunakan berbagai sumber, baik di dalam maupun di luar sekolah.
 Analisis dan sintesis, siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh dan membuat ringkasan untuk disajikan di depan kelas.
 Penyajian hasil akhir, setiap kelompok menyajikan hasil investigasi kelom-poknya di depan kelas.
 Evaluasi, guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup siswa secara individu atau secara berkelom¬pok, atau keduanya.
5. Strategi Pembelajaran Partisipatori
Pembelajaran partisipatori me¬¬nekankan pelibatan siswa untuk berpar-tisipasi dan ikut menentukan berbagai aktivitas pembelajaran. Setiap siswa ada¬lah subjek yang kepentingannya perlu diperhatikan dan diakomodasi da-lam pro¬ses pembelajaran. Pelibatan siswa dalam perencanaan dan penen-tuan berbagai pilihan tindakan pem¬belajaran dapat meningkatkan motivasi dan komitmen siswa untuk menekuni setiap tugas pembelajaran. Di samping itu, strategi ini dapat men¬do¬rong tumbuh dan berkembangnya jiwa demok¬ratis serta kemampuan mengemu¬kakan dan menerima pendapat di kalangan siswa.
Pelaksanaan pembelajaran partisipatori dapat ditempuh melalui stra¬te¬gi sebagai berikut:
 Libatkan siswa dalam membuat perencanaan dan pilihan tindakan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Misalnya, dalam memu¬tus¬kan me-nge¬nai strategi umum yang perlu ditempuh, sumber pem¬belajaran, cara-cara menyelesaikan tugas, bentuk dan tugas kelom¬pok, dsb.
 Gunakan berbagai teknik, seperti brainstorming, meta-plan, diskusi kelom-pok fokus untuk mendorong semua siswa mengemu¬kakan ga¬gasan masing-masing.
 Evaluasi setiap alternatif berdasarkan kelayakan (kemampuan, sum¬ber¬-daya, waktu, fasilitas), kemudian sepakati pilihan yang dapat di¬terima se-mua pihak. Dimungkinkan setiap individu atau kelompok me¬milih ca¬ranya masing-masing untuk mencapai tujuan sepanjang ber¬kontribusi pada pencapaian tujuan pembelajaran.
 Dorong siswa melaksanakan alternatif tindakan secara konsisten, na¬mun tetap memberi peluang dilakukannya refleksi, revisi, dan per¬ubahan rencana tindakan.
6. Strategi Pembelajaran Scaffolding
Pembelajaran Scaffolding merupakan praktik assisted learning, yakni teknik pemberian dukungan belajar yang pada tahap awal diberikan secara lebih terstruktur, kemudian secara berjenjang sebagai peranan guru dalam men¬dukung perkem¬bangan siswa dan menyediakan struktur dukungan untuk men¬capai tahap atau level berikutnya. Ketika pengetahuan dan kompe¬tensi belajar siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi pem-berian dukung¬an. Sesungguhnya, strategi pembelajaran scaffolding mendo-rong siswa menjadi pelajar yang mandiri dan mengatur diri sendiri (self- re-gulating). Jika siswa belum mam¬pu men¬¬ca¬pai kemandirian, guru kembali ke sistem dukungan untuk mem¬bantu siswa memperoleh kemajuan sampai me-reka mampu mencapai keman¬dirian.
Beberapa keuntungan pembelajaran Scaffolding adalah:
 Memotivasi dan mangaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
 Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh anak.
 Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan.
 Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang diharapkan.
 Mengurangi frustasi dan resiko.
 Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
Teknik pembelajaran scaffolding dapat dilakukan dengan format: (1) pemberian model perilaku yang diharapkan, (2) pemberian penjelasan, (3) mengundang siswa berpartisipasi, (4) menjelaskan dan mengklarifikasi pema-haman siswa, dan (5) mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.
Secara operasional, strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan berikut.
 Asesmen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk me-nen¬tukan Zone of Proximal Development (ZPD).
 Jabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci se-hingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan di-scaffold.
 Sajikan tugas belajar secara berjenjang sesuatu taraf perkembangan sis-wa. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penje¬lasan, per¬ingat¬an, dorongan (mo¬tivasi), penguraian masalah ke dalam langkah peme¬cah¬an, dan pembe¬rian contoh (modeling).
 Dorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
 Berikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda¬ mata (reminders), dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat meman¬cing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.
Dalam mengimplementasikan strategi-strategi pembelajaran yang di¬sa¬-rankan, guru harus selalu mengingat bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya senantiasa diarahkan untuk pencapaian dampak instruksi-onal dan dampak pengiring. Dampak instruksional bermuara pada kecer¬dasan inte¬lek¬tual (IQ), sedangkan dampak pengiring bermuara pada kecer¬dasan emo¬sional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Untuk keperluan itu, diharapkan guru dapat memilih dan me¬rancang serta mengembangkan me¬dia pembelajaran agar dapat memudahkan pencapaian IQ, EQ, dan SQ ter¬sebut. Contoh pene¬rap¬an strategi pembelajaran dalam rancangan satuan acara pembelajaran atau skenario pembelajaran dapat dilihat pada bagian Lampiran F.

[+/-] Selengkapnya...

KRITERIA DAN KARAKTERISTIK SEKOLAH EFEKTIF

Dalam dua puluh tahun terakhir, beberapa negara di dunia aktif melakukan kajian terhadap topik sekolah efektif. Negara maju seperti Amerika Serikat bahkan telah melalui beberapa fase penting bagi perbaikan sistem persekolahannya yang ditandai dengan munculnya kajian sekolah yang baik (Postman & Weingartner, 1973; Frymier, Cornbleth, Donmoyer, Gansneder, Jeter, Klein, Schwab & Alexander, 1984) dan kajian mengenai sekolah unggul (Wayson, Mitchell, Pinnell & Landis, 1988).
Di Indonesia, sekolah efektif, baik sebagai bidang kajian maupun sebagai suatu gerakan, tampaknya belum begitu populer. Hal ini ditandai dengan masih terbatasnya penelitian yang dilakukan mengenai topik ini. Penelitian yang antara lain dirintis oleh Moedjiarto (1990) rupanya belum cukup untuk membangkitkan semangat peneliti untuk menggeluti bidang kajian ini. Sasaran strategi dasar kebijakan pendidikan nasional dalam pelita VI kepada peningkatan kualitas pendidikan (Depdikbud, 1993) tampaknya juga belum mampu merangsang upaya-upaya yang konsisten ke arah praktik sekolah efektif. Penyebab utama kondisi ini adalah adanya anggapan bahwa aspek-aspek proses persekolahan, meskipun dipandang penting, kurang memberi kontribusi terhadap hasil belajar siswa.
Di luar Indonesia, berkembangnya kajian sekolah efektif tidak terlepas dari terjadinya perubahan orientasi dalam melihat “hasil belajar” siswa. Sampai pada tahun 1970, sebagian peneliti masih berkeyakinan bahwa hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan (intake) siswa seperti karakteristik sosio-ekonomik, ras, latar belakang keluarga dan faktor materil seperti ukuran kelas/sekolah, besarnya anggaran, perpustakaan, dan perlengkapan. Sementara belakangan, terutama pada era 1980-an, muncul temuan-temuan baru yang menolak argumen tersebut. Meta-analisis yang dilakukan oleh Fuller (1987) terhadap kondisi pendidikan di dunia ketiga sedikitnya memberikan gambaran mengenai hal ini. Fuller menyimpulkan bahwa dengan sumber daya yang terbatas sekalipun, organisasi sekolah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap prestasi akademik sisiwa, terlepas dari faktor latar belakang keluarga.
Argumen terakhir itulah yang melandasi kajian sekolah efektif. Hal ini didukung oleh pernyataan Witte dan Walsh (1990) bahwa pada dasarnya proses, lingkungan persekolahan, dan struktur sekolah menyebabkan perbedaan dalam prestasi akademik siswa. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa proses pembelajaran terjadi dalam konteks, dan dalam skala besar dipengaruhi oleh, organisasi sekolah. Dengan demikian, prestasi akademik tidak dapat dijelaskan dengan hanya menganalisis pembelajaran dan proses kelas secara tersendiri, terpisah dari organisasi sekolah. Karena terdapat beberapa komponen sekolah yang diyakini berpengaruh terhadap proses pembelajaran di kelas. Komponen-komponen ini, menurut Hoy dan Miskel (1987) perlu berfungsi secara bersama untuk menjadikan sekolah lebih efektif.
Artikel ini merupakan suatu tinjauan terhadap berbagai kajian mengenai sekolah efektif. Secara khusus, artikel ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan kriteria dalam menentukan sekolah efektif, (2) mengungkapkan berbagai karakteristik proses persekolahan yang berkontribusi terhadap keefektifan sekolah, dan (3) mengungkapkan beberapa implikasi yang dapat ditarik bagi penelitian sekolah efektif di Indonesia.

KRITERIA SEKOLAH EFEKTIF
Istilah “keefektifan” mengacu kepada sejauh mana kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam konteks sekolah, hasil belajar seringkali dicerminkan dengan tingkat perolehan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dicapai oleh siswa. Dengan demikian, sekolah efektif adalah sekolah yang menunjukkan prestasi tinggi yang dicapai oleh siswa dalam bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Para penulis mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai pengertian hasil belajar. Perbedaan pemahaman ini pada gilirannya membawa implikasi pada penentuan kriteria sekolah efektif. Paling tidak ada dua kriteria utama yang dipakai untuk menentukan sekolah efektif. Pertama, kriteria sekolah efektif yang didasarkan pada tingkat perolehan pengetahuan (Slater & Tedlie, 1992; Stoll & Fink, 1992). Untuk mengukur tingkat perolehan pengetahuan itu, digunakan tes baku dan hasil tes sumatif siswa. Beberapa peneliti bahkan membatasi kriteria hasil pengetahuan dengan hanya memfokuskan pada nilai belajar di bidang matematika dan membaca yang diukur dengan tes baku. Pembatasan pada perolehan pengetahuan ini, apalagi dengan hanya melihat skor matematika dan membaca, merupakan kelemahan yang paling serius dari semua penelitian karena terlalu mempersempit pengertian sekolah efektif (Frymier, dkk. 1984).
Kedua, kriteria sekolah efektif yang didasarkan pada hasil belajar yang bersifat non pengetahuan. Beberapa aspek “hasil” yang berkenaan dengan kriteria ini adalah sikap/perilaku (Louis & Miles, 1991; Wayson, dkk., 1988), angka putus sekolah (Witte & Walsh, 1990), tingkat kehadiran, tingkat efisiensi, dan sikap positif terhadap sekolah (Mortimore, 1993). Kriteria kedua ini juga belum memadai dalam mendeskripsikan hasil belajar.
Penjelasan yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ewell dan Lisensky (1988). Kedua penulis ini membagi kriteria keefektifan ke dalam empat dimensi, yaitu: hasil kognitif, hasil keterampilan, hasil sikap/nilai, dan hubungan yang dibangun dengan berbagai pihak. Dimensi kognitif mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan bidang studi. Dimensi keterampilan meliputi: (1) keterampilan dasar (verbal, oral, kuantitatif, dan lain-lain), (2) keterampilan tingkat tinggi (pemecahan masalah, kreatif, hubungan manusia/organisasi, dan lain-lain), dan (3) keterampilan kejuruan/vokasional (keterampilan untuk melakukan pekerjaan khusus). Dimensi sikap/nilai meliputi: (1) tujuan dan aspirasi pribadi, (2) sikap umum, nilai dan kepuasan, (3) sikap terhadap diri (pengembangan identitas), dan (4) sikap terhadap orang lain. Dimensi keempat berkaitan dengan hubungan yang dibangun oleh para lulusan dengan almamater, dunia kerja/industri, organisasi profesi, dan masyarakat. Menurut Ewell dan Lisensky, dimensi-dimensi tersebut tidak secara kaku diterapkan untuk menentukan efektif tidaknya suatu lembaga, melainkan disesuaikan dengan misi lembaga yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pada tingkat sekolah umum, baik SD, SLTP maupun SMU, kriteria keempat kurang relevan digunakan sebagai dasar untuk menentukan sekolah efektif.

KARAKTERISTIK SEKOLAH EFEKTIF
Karakteristik sekolah efektif adalah aspek-aspek proses persekolahan yang berkontribusi terhadap hasil belajar siswa. Dari berbagai sumber, penulis mengidentifikasi dua kelompok kajian mengenai sekolah karakteristik sekolah efektif. Pertama, kajian yang memusatkan analisisnya terhadap karakteristik tertentu yang berkontribusi terhadap sekolah efektif, di antaranya adalah karakteristik budaya organisasi sekolah (Cheng, 1993), proses pembuatan keputusan (Taylor & Levine, 1991), perubahan organisasi dan manajemen (Louis & Miles, 1991), perilaku kepemimpinan kepala sekolah (Heck, Marcoulides & Lang, 1991), dan keefektifan pengajaran (Virgilio, Teddlie & Oesher, 1991). Kedua, kajian yang memusatkan pada berbagai karakteristik umum sekolah, seperti ditemukan dalam kajian Mortimore (1993), penelitian Moedjiarto (1990), dan penelitian Witte dan Walsh (1990). Dari ketiga sumber terakhir ini diidentifikasi berbagai karakteristik sekolah efektif yang meliputi: (1) iklim dan budaya sekolah, (2) harapan yang tinggi untuk berprestasi, (3) pemantauan terhadap kemajuan siswa, (4) kepemimpinan kepala sekolah, (5) keterlibatan orangtua dalam kegiatan sekolah, (6) kebebasan, tanggung jawab dan keterlibatan siswa dalam kehidupan sekolah, (7) ganjaran dan insentif, dan (9) pelaksanaan kurikulum. Karakteristik ini selanjutnya diuraikan secara singkat pada bagian berikut ini.



Iklim dan Budaya Sekolah
Iklim dan budaya organisasi sekolah termasuk karakteristik yang secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) sebagai contoh, menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi (cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal produktivitas, adaptasi dan keluwesan.
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim dan budaya sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai atu sama lain.

Harapan yang Tinggi untuk Berprestasi
Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990) dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi. Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan dala meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi akademik mereka.
Murphy (1985), Stedman (1985), McCormack-Larkin dan Kritek (1982) sebagaimana dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi dan peringkat, dan (5) pemberian perhatian probadi kepada siswa perorangan.

Pemantauan terhadap Kemajuan Siswa
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa karakteristik ini berhubungan secara signifikan dengan hasil belajar siswa. Penelitian Witte dan Walsh (1990) misalnya, menemukan bahwa karakteristik ini berkorelasi dengan prestasi belajar matematika dan membaca siswa.
Pemantauan terhadap kemajuan belajar siswa merupakan suatu prosedur vital, sebagai kegiatan pendahuluan untuk merencanakan siasat pengajaran, mengubah metode atau menambah/mengurangi beban kerja (Mortimore, 1993). Secara khusus, pemantauan terhadap kemajuan siswa yang dilakukan secara konsisten dan kontinyu berperan sebagai dasar untuk memberikan balikan kepada siswa (Reynolds, 1990). Dalam kaitannya dengan kriteria ini, perlu diperhatikan aktivitas pekerjaan rumah yang diberikan kepada siswa terutama yang berkaitan dengan: (1) seberapa banyak pekerjaan rumah yang selayaknya diberikan kepada siswa, dan (2) penilaian dan balikan yang diberikan (Witte & Walsh, 1990).

Kepemimpinan Kepala Sekolah
Karakteristik ini juga ditemukan yang paling konsisten hubungannya dengan prestasi belajar. Temuan penelitian Heck, dkk. (1991) menunjukkan bahwa prestasi akademik dapat diprediksi berdasarkan pengetahuan terhadap perilaku kepemimpinan pengajaran kepala sekolah. Menurut Townsend (1994), proses kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap semua aspek kinerja sekolah. Lebih spesifik, kepemimpinan pengajaran berperan dalam kegiatan pembinaan personil guru, perlindungan sekolah dari tekanan eksternal yang kurang mendukung, pemantauan prestasi sekolah, penyediaan waktu dan energi untuk perbaikan sekolah, pemberian dukungan kepada guru, dan pencarian sumberdaya ekstra untuk sekolahnya (Mortimore, 1993).
Proses kepemimpinan mencakup dua dimensi penting, yaitu beban kepemimpinan dan bentuk atau gaya kepemimpinan (Townsend, 1994). Beban kepemimpinan berkaitan dengan sejauhmana tanggung jawab kepemimpinan diambil alih atau didelegasikan oleh kepala sekolah terhadap semua aspek operasi sekolah. Bentuk kepemimpinan berkaitan dengan gaya kepemim-pinan yang digunakan oleh kepala sekolah, apakah otoritarian, hierakis, demokratis, berorientasi tugas atau berorientasi manusia. Adapun gaya kepemimpinan yang dikembangkan tergantung pada kondisi operasional sekolah. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan otokratik dan gaya yang terlalu demokratik kurang efektif dibandingkan dengan gaya kepemimpinan situasional (Mortimore, 1993).

Keterlibatan Orangtua dalam Kegiatan Sekolah
Lazar dan Darlington (1982) seperti dikutip oleh Mortimore (1993) memberikan bukti bahwa keterlibatan orangtua merupakan aspek penting bagi keberhasilan program pendidikan. Hal ini didukung oleh temuan penelitian Witte dan Walsh (1990) yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara keterlibatan orangtua dengan prestasi belajar matematika dan membaca pada jenjang SLTP dan SMU.
Schreens (1992) menilai bahwa keterlibatan orangtua merupakan stimulus eksternal yang memainkan peranan penting bagi peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Menurut Schreens, orangtua siswa dapat dianggap sebagai perwakilan para pemakai jasa pendidikan yang dapat mempengaruhi sekolah menjadi efektif. Peranan tradisional keterlibatan orangtua juga tidak boleh dilupakan, seperti kerja sama dengan sekolah dalam pemberian bimbingan belajar dan dalam menumbuhkan kedisiplinan kepada anak mereka.

Kebebasan, tanggung Jawab, dan Keterlibatan Siswa dalam Kehidupan Sekolah
Penelitian Moedjiarto (1990) menemukan bahwa karakteristik ini mempunyai korelasi dengan prestasi akademik siswa. Asumsi yang mendasari karakteristik ini adalah bahwa pembelajaran hanya mungkin terjadi bilamana siswa mempunyai pandangan yang positif terhadap sekolahnya dan peranan mereka di dalamnya (Moortimore, 1993). Dengan melibatkan siswa dalam kegiatan sekolah atau dengan memberikan tanggung jawab kepada mereka berarti guru berusaha menumbuhkan pada diri siswa rasa memiliki terhadap sekolah dan terhadap pembelajarannya sendiri. Bentuk keterlibatan siswa bisa bermacam-macam, tetapi secara umum dapat dilakukan melalui penyusunan program kegiatan kokurikuler sekolah dan dalam penyusunan kebijakan sekolah.

Ganjaran dan Insentif
Penelitian Moedjiarto menemukan signifikansi karakteristik ini. Dijelaskan oleh Reynolds (1990), sekolah yang sukses menyadari bahwa pemberian penghargaan jauh lebih penting ketimbang menghukum atau menyalahkan siswa. Hal ini dinilai oleh Reynolds sebagai suatu strategi motivasi yang penting untuk meningkatkan citra diri (self-mage) siswa dan berkembangnya atmosfir yang bersahabat dan suportif. Ganjaran dan insentif mendorong munculnya perilaku positif dan, dalam beberapa hal, mengubah perilaku siswa (dan juga guru).
Ganjaran dan insentif diberikan dalam beberapa cara. Mortomore, dkk. (1988) sebagaimana dikutip Mortimore (1993) mengidentifikasi beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah efektif dalam pemberian insentif , seperti memberi ganjaran kepada individu yang menunjukkan pekerjaan atau perilaku yang baik dan ganjaran yang diberikan berdasarkan prestasi dalam kegiatan olahraga dan sosial.

Tata Tertib dan Disiplin
Karakteristik ini sangat penting artinya dalam mewujudkan sekolah efektif melalui penciptaan kedisiplinan belajar. Penelitian Moedjiarto (1990) mengungkapkan bahwa karakteristik tata tertib dan kebijakan disiplin sekolah mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik siswa. Pada dasarnya tata tertib dan disiplin merupakan harapan yang dinyatakan secara eksplisit yang mengandung peraturan tertulis mengenai perilaku siswa yang dapat diterima, prosedur disiplin, dan sanksi-sanksinya (ESCN, 1987 seperti dikutip oleh Moedjiarto, 1990). Witte dan Walsh (1990) mengemukakan dua dimensi penting kedisiplinan yang dilaksanakan dalam sekolah efektif, yaitu: (1) persetujuan kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan disiplin sekolah, dan (2) dukungan yang diberikan kepada guru bilamana mereka melaksanakan peraturan disiplin sekolah.

Pelaksanaan Kurikulum
Sebagai inti dari program pendidikan, pelaksanaan kurikulum mempunyai kaitan erat dengan prestasi belajar siswa. Penelitian Moedjiarto (1990) membukti¬kan adanya hubungan antara pelaksanaan kurikulum dengan prestasi akademik siswa. Menurut Townsend (1994) pelaksanaan kurikulum mencakup isu: (1) kuali¬tas program yang diberikan, (2) keterlibatan guru dalam pengajaran, (3) harapan masyarakat sekolah, (4) teknik motivasi untuk memenuhi harapan ini, (5) alokasi waktu, (6) tipe pengajaran (klasikal, kelompok, ekskursi), (7) pemantauan kema¬juan belajar, (8) tingkat keterlibatan siswa dalam pembelajaran, dan (9) fasilitas belajar yang disediakan oleh sekolah. Lebih spesifik lagi, Murphy (1985), Stedman (1985), McCormack-Larkin dan Kritek (1982) sebagaimana dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan beberapa aspek yang berkaitan dengan karakteristik pelaksanaan kurikulum pada sekolah efektif, yaitu (1) adanya kesempatan belajar yang memadai yang diberikan kepada siswa, (2) kurikulum yang terkoordinasi, (3) pengajaran yang berlangsung secara aktif, dan (4) jelasnya fokus dan misi pendi¬dikan di sekolah itu.

BEBERAPA IMPLIKASI BAGI PENELITIAN SEKOLAH EFEKTIF DI INDONESIA
Meskipun kajian sekolah efektif telah dilakukan cukup lama, tidaklah berarti objek ini rnerupakan lahan yang sudah tertutup untuk diteliti. Sebaliknya, hasil-ha¬sil kajian yang telah dilakukan itu menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi para peneliti untuk menggeluti topik sekolah efektif. Tantangan ini untuk sebagian bersumber, dari sejumlah kritik yang dialamatkan kepada penelitian-penelitian ter¬dahulu. Sekurang-kurangnya ada empat kritik yang dilontarkan para ahli terhadap penelitian sekolah efektif. Pertama, kebanyakan penelitian sekolah efektif meng¬gunakan analisis rerata karakteristik yang membedakan sekolah efektif dan sekolah tidak efektif. Meskipun teknik ini dapat dibenarkan, tetapi analisis mean to mean tidak cukup memadai untuk menjelaskan variansi karakteristik sekolah efektif (Reynold, 1990).
Kedua, penelitian sekolah efektif yang dilakukan kebanyakan melibatkan jumlnh sampel sekolah yang terlalu kecil (Reynold, 1990; Witte & Walsh, 1990). Sebagai contoh, penelitian Moedjiarto (1990) hanya melibatkan 6 SMAN di Sura-baya, masing-masing tiga SMA di antaranya digolongkan sebagai sekolah efektif dan tiga lainnya digolongkan SMA tidak efektff. Jumlah ini jelas terlalu kecil karena yang menjadi unit analisis adalah sekolah. Jumlah yang kecil ini juga memungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh kesalahan sampling (sampling er¬ror).
Ketiga, penelitian yang telah dilakukan terlalu mengandalkan pengukuran kuantifikasi yang kaku (Witte dan Walsh 1990). Virgilio, Tedlie, dan Oesher (1991) mengemukakan, meskipun teknik ini bermanfaat dalam menarik kesimpulan, di masa depan studi mengenai sekolah efektif hendaknya perlu lebih detail, dengan mengumpulkan informasi kualitatif melalui pendekatan etnografi. Dengan kata lain, kebutuhan akan penelitian naturalistik di masa depan dipandang penting untuk menjawab pertanyaan fundamental yang selama ini terabaikan: Mengapa karakter¬istik keefektifan sekolah berkorelasi dengan hasil pendidikan? (Schreens, 1992).
Keempat, penelitian sekolah efektif sebelumnya terIalu difokuskan pada pres¬tasi akademik yang diukur dengan tes baku (Stoll dan Fink, 1992). Malahan, penelitian Moedjiarto (1990) menggunakan kriteria nilai rerata EBTANAS untuk mengelompokkan sekolah efektif dengan sekolah tidak efektif. Pengukuran de¬ngan menggunakan nilai EBTANAS ini, tidak hanya terkesan terlalu menyederha¬nakan makna hasil belajar, tetapi juga dapat menyesatkan karena masih adanya kemungkinan nilai EBTANAS dimanipulasi. Dalam hubungan itu Reynolds (1990) mengusulkan agar penelitian sekolah efektif di masa depan juga perlu didasarkan pada hasil belajar yang bersifat non-akademis.
Dari kritik-kritik itu, ada beberapa implikasi penting yang dapat direkomen¬dasikan bagi penelitian sekolah efektif di Indonesia:
1. Penelitian sekolah efektif di masa depan perlu lebih difokuskan pada teknik analisis yang tidak sekadar membandingkan rerata karakteristik sekolah efektif, melainkan pada penjelasan variabel hasil belajar berdasarkan sumbangan ma¬sing-masing karakteristik sekolah efektif yang dapat dilakukan antara lain de¬ngan menggunakan teknik analisis regresi ganda dan multivariat analysis of varians.
2. Karena unit analisisnya adalah sekolah, maka jumlah sampel sekolah dalam penelitian sekolah efektif hendaknya lebih besar dengan melibatkan berbagai kelompok sekolah, seperti sekolah perkotaan dan sekolah pedesaan, sekolah efektif dan sekolah tidak efektif, sekolah dasar hingga sekolah menengah, dan sebagainya.
3. Untuk mengatasi kekurangan pendekatan kuantitatif, maka seyogianya diper¬timbangkan penggunaan pendekatan peneIitian kualitatif, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pendekatan kuantitatif. Untuk Iingkup Indone¬sia, pendekatan kualitatif terasa sangat dibutuhkan oleh karena banyak aspek-as¬pek unik dengan segala variasinya yang diduga kuat mempengaruhi hasil belajar siswa, seperti budaya sekolah, visi kepemimpinan, kedisiplinan siswa, dan sebagainya. Dengan mengacu kepada pendapat Schreens (1992), temuan peneli¬tian kualitatif itu diharapkan dapat memberikan penjelasan substantif terhadap model sekolah efektif.
4. Kriteria untuk menentukan sekolah efektif tidak hanya terbatas pada prestasi akademik, melainkan berbagai dimensi hasil belajar. Untuk itu penelitian seko¬lah efektif di Indonesia seyogianya mengacu kepada sekurang-kurangnya tiga dari empat dimensi hasil belajar yang dikemukakan oleh Ewell dan Lisensky (1988), yaitu hasil kognitif, hasil keterampilan, dan hasil sikap/nilai.

KESIMPULAN
Penelitian sekolah efektif seyogianya didasarkan pada kriteria hasil kognitif, hasil keterampilan, dan hasil sikap/nilai. Di samping itu, penelitian sekolah efektif juga perlu menganalisis berbagai karakteristik sekolah yang berkontribusi bagi keefektifan sekolah. Akhirnya, kajian ini mengemukakan implikasi metodologis, seperti jumlah sample, teknik analisis, kriteria pengukuran sekolah efektif, dan penggunaan pendekatan kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian sekolah efektif di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Cheng, Y. C. 1993. Profiles of organizational culture and effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 4(2):85-110.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Empat Strategi Dasar Kebijakan Pendidik¬an Nasional. Seri Kebijaksanaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ewell, P. T. dan Lisensky, R. P. 1988. Assessing Institutional Effectiveness: Redirecting the Self-Study Process. Washington, DC: Consortium for the Advancement of Private Higher Education.
Frymier, J., Combleth, C., Donmoyer, R., Gansneder, B. M., Jeter, J. T., Klein, M. F., Schwab, M., dan Alexander, W. M. 1984. One Hundred Good School: A Report of the Good School Project. Indiana: Kappa Delta Pi.
Fuller, B. 1987. What school factor raise achievement in the third world? Review of Educational Research, 57(3):255-292.
Heck, R. H., Marcoulides, G. A. dan Lang, P. 1991. Principal instructional leadership and school achievement: the Application of discriminant tehcniques. School Effectiveness and School Improvement, 2(2): 115-135.
Hoy, W. K. dan Miskel, C. G. 1987. Educational Administration: Theory Research and Practice. (3rd ed.), New York: Random House.
Louis, K. S. dan Miles, M. B. 1991. Managing reform: lesson from urban high schools. School Effectiveness and School Improvement, (2):75-96.
Mortimore, P. 1993. School effectiveness and the management of effective learning and teaching. School Effectiveness and School Improvement; 4(4):290-310.
Moedjiarto. 1990. Persepsi terhadap Karakteristik yang Membedakan Sekolah Menengah Atas dengan Prestasi Aki:zdemik Tinggi dan Sekolah Menengah Atas dengan Prestasi Akademik Rendah di Surabaya. Disertasi. Tidak diterbitkan: Malang: Fakultas Pasca Sarjana Intitut Keguruan dan llmu Pendidikan Malang. - '
Postman, N. dan Weingartner, C. 1973. The School Book: For People who Want to Know what All the Hollering is about. New York: De1acorte Press. ,
Reynolds, D. 1990. Research on school/organizational effectiveness: The end of the beginning? dalam Rene Saran dan Vernon Trafford (1990). Research in Educa-tional Management and Policy: Retrospect and Prospect. London: The Farmer Press.
Scheerens, J. 1992. Effective Schooling: Research, Theory and Practice. London: Cassel.
Slater, R.O. dan Teddlie, C. 1992. Toward a theory of school effectiveness and leadership. School Effectiveness and School Improvement, 3(4):242-257.
Stoll, L. dan Fink, D. 1992. Effecting school change: the halton approach. School Effective¬ness and School Improvement, 3(1):19-41.
Taylor, B. O. dan Levine, D. V. 1991. Effective school project and school-based manage¬ment. Phi Delta Kappan, Januari. 394-397.
Townsend, T. J994. Effecting Schooling For the CommUllity. London and New York:, Routledge.
Virgilio, I., Teddlie, C., dan Oescher, I. 1991. Variance and context differences in teaching at differentialli effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 2(2):152-168.
Wayson, W. W., Mitchell, B. M., Piruiel, G. S., dan Landis, D. 1988. Up From Excellence: Impact of the Excellence Movement on Schools. Bloomington, Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Witte, J. F. dan Walsh, D. J. 1990, A systematic test of the effective school model. Educational Evaluation and Policy Analysis, 12(2):188-212.

[+/-] Selengkapnya...

aku adalah kesunyian


yah... telah kutemukan sesuatu.

[+/-] Selengkapnya...