CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 06 Mei 2009

makalah Dr. Salam, M.Pd.

MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DAN BERMARABAT
Oleh: Salam


Visi reformasi pembangunan dalam bidang pendidikan adalah ter¬wu¬judnya ma¬syarakat Indonesia yang damai, demokratis, ber¬ke¬adil¬an, ber¬¬daya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesa¬tuan Republik Indonesia.


A. RASIONAL
Untuk melaksanakan dan mewujudkan visi tersebut, ma¬ka ha¬ruslah didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, ber¬iman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin (Depdiknas, 2003). Reformasi pembangunan dalam bidang pendidikan tersebut diawali pada proses pembelajaran di sekolah. Proses pembel¬ajaran di sekolah harus dirancang dan ditata secara inovatif dan bermartabat, agar tercipta atmosfir belajar yang kondusif dan bertanggungjawab.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang inovatif dan bermartabat dibutuhkan sumber daya manusia yang handal dalam hal ini guru yang profesional.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional maupun internasional.
Berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi guru, antara lain: (1) adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan, (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan yang dilakukan belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan dimaksud antara lain: (1) kemampuan siswa dalam menyerap mata pelajaran yang diajarkan guru tidak maksimal, (2) kurang sempurnanya pembentukan karakter yang tercermin dalam sikap dan kecakapan hidup yang dimiliki oleh setiap siswa, (3) rendahnya kemampuan membaca, menulis dan berhitung siswa terutama di tingkat dasar (hasil studi internasional yang dilakukan oleh organisasi International Education Achievement, 1999).

B. HAKIKAT PEMBELAJARAN INOVATIF DAN BERMARTABAT
Pembelajaran inovatif dan bermartabat adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan spesifik, ilmu pengetahuan, serta sikap dalam suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (Dick & Reiser, 1989). Sedangkan Dune & Wragg (1996) menyebutkan bahwa pembelajaran inovatif dan bermartabat akan memudahkan siswa belajar sesuatu yang bermanfaat, seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan cara hidup serasi dengan sesama. Dengan pembelajaran yang inovatif dan bermartabat diharapkan dapat mengembangkan kompetensi siswa, baik ge¬neral life skill (personal skill dan social skill) maupun specific life skill (academic skill dan vocational skill).
Murphy (1992) mengemu¬kakan beberapa ciri pembelajaran inovatif, di antaranya: (1) mengarahkan peserta didik untuk "mempelajari bagaimana belajar" (learning how to learn), (2) berlangsung lebih kooperatif, dan (3) memperlakukan siswa sebagai pemeran utama dan guru sebagai pelatih.
Pembelajaran Inovatif dan Bermartabat (PIB) adalah strategi pembelajaran yang dikemas dari berbagai konsep dan gagasan tentang pembelajaran inovatif. PIB merupakan suatu sistem pembelajaran yang dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sebagai berikut.
1. Mengoptimalkan pencapaian dampak instruksional (instructional effect) dan mengontrol dampak pengiring (nurturant effect) guna mengembangkan secara terintegasi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual siswa.
2. Mengoptimalkan efek pembelajaran melalui (a) penciptaan iklim kelas yang kondusif, (b) penerapan strategi pembelajaran yang menstimulasi keterlibatan aktif dan interaksi edukatif siswa, dan (c) penggunaan media dan sumber belajar yang kontekstual.
3. Menerapkan strategi pelaksanaan evaluasi autentik, integratif, reflektif, dan berkelanjutan.






C. MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DAN BERMARTABAT
Dalam makalah ini ada enam komponen PIB yang akan dibahas yakni; (1) komponen tujuan, (2) komponen pengelolaan kelas, (3) komponen strategi/teknik pembelajaran, (4) komponen media dan sumber belajar, dan (5) komponen evaluasi.

1. Komponen Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran (instructional objective) adalah perilaku hasil belajar yang diharapkan terjadi, dimiliki, atau dikuasai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembel¬ajaran tertentu. Tujuan pembelajaran merupakan arah yang hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk pe¬rilaku kompetensi spesifik, aktual, dan terukur sesuai yang diharapkan ter¬jadi, dimiliki, atau dikuasai siswa sete¬lah mengikuti kegi¬atan pembel¬ajaran ter¬tentu.
Penyusunan tujuan pembel¬ajar¬an merupakan tahapan penting dalam rangkaian pengembangan desain pem¬belajaran. Dari tahap inilah ditentukan apa dan bagai¬mana harus melaku¬kan tahap lainnya. Apa yang dirumuskan dalam tujuan pem¬belajaran menjadi acuan untuk menentukan jenis materi, strategi, metode, dan media yang akan digunakan dalam proses pem¬bel¬ajaran. Tanpa tujuan yang jelas, pem¬belajaran akan menjadi kegiatan tan¬pa arah, tanpa fokus, dan menjadi tidak efektif.
Pelaksanaan setiap kegiatan pembelajaran, menurut Joyce & Weil (1986), akan menghasilkan dua macam tujuan (dampak) pembelajaran, yaitu dam¬pak instruksional (instructional effects) dampak pengiring (nurturant effects). Tujuan (dampak) instruksional ialah hasil belajar yang dicapai langsung dengan meng¬arahkan siswa pada tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tujuan instruksional merupakan perilaku khusus atau kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh siswa yang ter¬kait langsung dengan suatu topik atau pokok bahasan tertentu dari suatu mata pelajaran.
Dalam praktik penyusunan rancangan pembel¬ajar¬an di sekolah, umumnya guru hanya mencantumkan rumusan tujuan pembelajaran kategori ini. Tujuan pembel¬ajaran khusus (TPK) ataupun indikator perilaku khusus sebagai target pencapaian hasil bel¬¬ajar yang dibuat guru umumnya hanya didominasi dengan rumusan yang diarahkan untuk mencapai dampak instruksional semacam ini.
Tujuan (Dampak) pengi¬ring ialah perilaku hasil belajar yang diperoleh siswa di luar dampak instruksional. Perilaku pengiring ini terutama dihasilkan sebagai akibat ter¬ciptanya suasana atau kondisi tertentu yang dialami siswa dalam proses pembelajaran, tanpa pengarahan langsung dari guru. Setiap situasi, kondisi, pola interaksi, atau pengalaman belajar yang dialami oleh siswa dalam proses pembelajaran dapat menstimulasi berkembangnya perilaku dan sikap tertentu pada diri siswa.
Situasi dan kondisi yang dialami oleh siswa dalam suatu proses pembelajaran dapat memberi dampak pengiring yang bersifat positif, berupa berkembangnya perilaku yang dikehendaki, tapi sebaliknya pula sebaliknya bersifat negatif, yaitu berkembangnya perilaku yang tidak diharapkan. Sebagai contoh, ketika guru meminta setiap siswa mengemukakan pemikirannya tentang suatu topik di depan kelas, maka proses ini dapat menstimulasi berkembangnya perilaku berani dan percaya diri pada siswa. Namun demikian, jika seorang siswa mengemukakan gagasannya yang berbeda dan tidak sesuai harapan guru, lalu yang bersangkutan diberi sanksi, misalnya berdiri di depan kelas atau ditertawai, maka siswa ini akan belajar bahwa mengemukakan gagasan berbeda itu tidak boleh dan akan mendapat konsekuensi negatif. Pengalaman seperti ini akan memberi dampak pengiring negatif bagi pengembangan kreativitas anak.
Mengingat potensi yang terkandung dalam dampak pengiring bagi perubahan perilaku siswa, maka dampak pengiring perlu dikelola dan dikendalikan. PIB harus mengoptimalkan pencapaian dampak pengiring positif dan meminimalkan dampak pengiring negatif. Pengendalian dampak pengiring ini dapat dilakukan dengan sejak awal menjadikannya sebagai target belajar yang diformuasikan dalam bentuk perumusan tujuan tersendiri, di samping tujuan instruksional. Perilaku positif tertentu yang dikehendaki terjadi pada siswa dapat menjadi target belajar tersendiri dan ditetapkan sebagai sasaran dampak pengiring dalam pembelajaran. Dengan menetapkan perilaku seperti itu sebagai target belajar, maka dalam merencanakan pembelajaran, guru akan berkomitmen untuk mencapainya. Guru akan berupaya memilih model pengelolaan kelas, strategi dan pengalaman belajar, serta media dan sumber pembelajaran yang dianggap tepat untuk menstimulasi berkembangnya perilaku khusus tersebut.

2. Komponen Pengelolaan Kelas
Untuk melaksanakn PIB dengan baik dibutuhkan kondisi kelas yang kondusif. Kelas yang kondusif adalah lingkungan belajar yang mendorong terjadinya proses belajar yang intensif dan efektif. Strategi belajar apapun yang digunakan guru akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung dengan iklim dan kondisi kelas yang kondusif. Oleh karena itu, guru perlu menata dan menge¬lola lingkungan belajar di kelas sedemikian rupa sehingga menyenangkan, aman, dan menstimulasi setiap anak untuk terlibat dalam proses pembel¬ajaran.
Berikut dikemukakan beberapa petunjuk dalam mengelola kelas agar kondusif bagi terjadinya proses belajar.
1) Penciptaan Atmosfir Belajar
Atmosfir atau iklim yang tercipta dalam interaksi belajar mengajar di kelas memegang peranan penting dalam menstimulasi dan mempertahankan keterlibatan siswa dalam belajar. Karena itu, guru perlu menciptakan iklim komunikasi dan interaksi dalam kelas yang kondusif bagi proses pembel¬ajaran.
Berikut dikemukakan beberapa kondisi dan iklim kelas yang dapat mendorong proses pembelajaran yang inovatif dan bermartabat.
a) Menyenangkan
Menyenangkan terkait dengan aspek afektif (perasaan). Guru harus bera¬ni meng¬ubah iklim dari suka ke bisa. Guru harus memilki jiwa pendidik; bersikap ramah, suka tersenyum, ber¬komunikasi dengan santun dan patut, adil terhadap semua siswa, dan senanatiasa sabar menghadapi berbagai ulah dan perilaku siswanya.

b) Mengasyikkan
Mengasyikkan terkait dengan perilaku (learning to do). Guru hendak¬nya da¬pat me¬ngundang dan mencelupkan siswa pada suatu kondisi pembel¬ajaran yang disukai dan menantang siswa untuk berkreasi secara aktif. Untuk itu, guru harus menciptakan kegiatan belajar yang kreatif melalui tema-tema yang me¬narik yang dekat dengan kehidupan siswa. Rancangan pembelajaran terpadu dengan materi pembelajaran yang kontekstual harus dikembangkan secara terus menerus de¬ngan baik oleh guru.



c) Mencerdaskan
Mencerdaskan bukan hanya terkait dengan aspek kognitif, melainkan juga dengan kecerdasan majemuk (multiple intelegency). Pemberdayaan otak kiri dan otak kanan ha¬rus dicermati dalam proses pembelajaran. Pilihlah tema yang da¬pat meng¬ajak anak bukan hanya sekedar berpikir, melainkan juga dapat merasa dan bertindak untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab¬nya. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana guru dapat mengalirkan pendi¬dikan normatif ke dalam mata pel¬ajaran sehingga menjadi adaptif dalam kese¬harian anak. Inilah yang merupakan tujuan utama dari fundamen pendidikan ke¬cakapan hidup (life skill).
d) Menguatkan
Menguatkan terkait dengan proses 3 M sebelumnya. Jika anak se¬nang dan asyik, tentu saja bukan hanya kecerdasan yang diperoleh, melain¬kan juga me¬kar¬nya “kepriba¬dian anak” yang menguatkan mereka sebagai pembelajar. Anak-anak yang memiliki pri¬badi yang kuatlah yang diharapkan bangsa kita un¬tuk meng¬atasi dan ke¬luar dari berbagai kemelut multidimensi dan dapat me¬nyong¬¬song era globalisasi.
2) Pengaturan Meja-Kursi
Susunan meja-kursi hendaknya memung¬kinkan siswa-siswa dapat saling berinteraksi dan memberi keluasaan untuk terjadinya mobilitas pergerakan untuk melakukan aktivitas belajar. Meja-kursi juga hendaknya dapat digerakkan, dipindahkan, dan disusun secara fleksi¬bel. Berikanlah keleluasaan siswa mengatur sendiri atau memilih meja-kursinya masing-masing, walaupun mungkin akan tampak acak-acakan dan tidak beraturan. Prinsip pokok yang perlu diperhatikan dalam pengaturan meja-kursi adalah tatanan mana yang dapat menstimulasi dan mempertahakan tingkat keterlibatan belajar yang tinggi.
Berikut dikemukakan beberapa bentuk penataan meja-kursi yang dapat dipilih oleh guru guna meningkatkan keterlibatan dan interaksi antar siswa dalam proses pembelajaran.

a. Model huruf U
Model susunan meja-kursi model U dapat dipilih untuk berbagai tujuan. Dalam model ini, para siswa memiliki alas untuk menulis dan membaca, dapat melihat guru atau media visual dengan mudah, dan memungkinkan mereka bisa saling berhadapan langsung. Susunan model ini juga memudahkan untuk membagi bahan pelajaran kepada siswa secara cepat, di mana guru dapat masuk ke dalam huruf U dan berjalan ke berbagai arah.
Dalam menyusun meja-kursi model U, sediakan ruangan yang cukup antara satu tempat duduk dengan yang lainnya sehingga kelompok kecil siswa yang terdiri atas tiga orang atau lebih dapat keluar-masuk dari tempatnya dengan mudah.
b. Model Corak Tim
Pada model ini, meja-meja dikelompokkan setengah lingkaran atau oblong di ruang tengah kelas agar memungkinkan guru melakukan interaksi dengan setiap tim (kelompok siswa). Guru dapat meletakkan kursi-kursi mengelilingi meja-meja guna menciptakan suasana yang akrab. Siswa juga dapat memutar kursi melingkar menghadap ke depan ruang kelas untuk melihat guru atau papan tulis.
c. Model Meja Konferensi
Model ini cocok jika meja relatif persegi panjang. Susunan ini mengurangi dominasi pengajar dan meningkatkan keterlibatan siswa. Susunan meja kursi pada model ini dapat dilihat pada foto sebagai berikut ini.

d. Model Lingkaran
Dalam model ini, tempat duduk siswa disusun dalam bentuk lingkaran sehingga mereka dapat berinteraksi berhadap-hadapan secara langsung. Model lingkaran seperti ini cocok untuk diskusi kelompok penuh. Sediakan ruangan yang cukup, sehingga guru dapat menyuruh siswa menyusun kursi-kursi mereka secara cepat dalam berbagai susunan kelompok kecil. Jika mereka ingin menulis, mereka dapat menghadap ke meja masing-masing, namun jika mereka berdiskusi, mereka dapat memutar kursi untuk berhadap-hadapan satu sama lain.
e. Model Fishbowl
Susunan ini memungkinkan guru melakukan kegiatan diskusi untuk menyusun permainan peran, berdebat, atau mengobservasi aktivitas kelompok. Susunan yang paling khusus terdiri atas dua konsentrasi lingkaran kursi. Guru juga dapat meletakkan meja pertemuan di tengah-tengah, dikelilingi oleh kursi-kursi pada sisi luar.
f. Model Breakout groupings
Jika kelas cukup besar atau jika ruangan memungkinkan, letakkan meja-meja dan kursi di mana kelompok-kelompok kecil siswa dapat melakukan aktivitas belajar yang didasarkan pada tugas tim. Tempatkan susunan pecahan-pecahan kelompok saling berjauhan sehingga tim-tim itu tidak saling mengganggu. Tetapi hindarkan penempatan ruangan kelompok-kelompok kecil terlalu jauh dari ruang kelas utama sehingga hubungan di antara mereka dapat tetap terjaga.
g. Model Workstation
Susunan ini tepat untuk lingkungan tipe laboratorium, di mana setiap siswa duduk secara berpasangan pada meja tertentu untuk mengerjakan suatu tugas (seperti mengoperasikan komputer, mesin, melakukan kerja laboral, dsb) sesaat setelah dimenostrasikan. Meja diatur sedemikian rupa, sehingga siswa dapat bekerja secara berpasangan sebagai partner belajar. Susunan seperti ini tepat digunakan bila pokok bahasan melibatkan tugas mandiri (seat work) sekaligus tugas kelompok kecil.
3) Pengelolaan Waktu
Pembelajaran berlangsung selama periode waktu tertentu. Waktu me¬ru¬pakan sumber terbatas yang perlu dialokasi dan dimanfaatkan secara efesien dan efektif. Alokasi waktu pelaksanaan pembelajaran setiap mata pelajaran telah dialokasikan dalam satuan jam tertentu. Alokasi jam pembelajaran tersebut harus dapat digunakan secara optimal untuk menghasilkan perubahan belajar pada diri siswa.
Guna mengoptimalkan pemanfaatan waktu yang tersedia untuk ke¬butuhan pembelajaran, guru perlu memperhatikan beberapa petunjuk be¬rikut ini.
a. Hindari waktu terbuang akibat keterlambatan penyiapan sumber atau media, penundaan memulai awal pembelajaran, atau terlalu banyak meng¬gunakan waktu untuk menyelesaikan tugas administratif. Guru perlu menemukan cara-cara kerja yang efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas administratif yang memang perlu dilakukan untuk menunjung program pembelajarannya. Penggunaan komputer merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh.
b. Mulai pembelajar¬an pada waktunya. Hindari menghabiskan terlalu banyak waktu menghadapi siswa terlambat atau problem siswa lain. Guru terkadang terlalu banyak menghabiskan waktu mengurusi siswa-siswa terlambat atau menampilkan perilaku salah-suai lainnya. Siswa-siswa semacam itu sebaiknya ditangani setelah waktu pembelajaran, atau dilimpahkan ke konselor sekolah.
c. Hindari meng¬hentikan PBM sebelum waktunya. Jika skenario pembel¬ajaran disiapkan dengan baik, guru dapat memePIBrkirakan macam dan kuantitas kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan alokasi waktu yang ditetapkan. Dengan demikian, sumber-sumber waktu yang disediakan un¬tuk setiap jam pembelajaran dapat digunakan secara efektif dan efisien.
d. Hindari terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu selama proses pem¬belajaran. Kondisikan agar prosedur dan kegiatan rutin siswa di kelas da¬pat dilakukan dengan lancar dan cepat. Gunakan petunjuk tertulis, denah, atau gambar untuk membantu siswa memahami apa yang harus dila¬kukan, bagaimana dan di mana suatu tugas harus dilakukan. Tata peralatan dan bahan yang diperlukan sedemikian rupa di lokasi yang mudah dijangkau dan digunakan oleh semua siswa saat dibutuhkan. Penataan ruang kelas yang baik, sebagaimana diuraikan sebelumnya, dapat membantu memperlancar aktivitas pembelajaran di kelas.
e. Tingkatkan time on-task setiap siswa untuk mengikuti setiap sesi pembel¬ajar¬tan. Time on-task siswa, yaitu curah waktu dimana siswa secara aktif ter¬libat secara mental pada proses belajar. Ini dapat dilakukan dengan me¬ngait¬kan pelajaran dengan hal-hal yang menarik, bersifat melibatkan, dan sesuai dengan minat siswa.
f. Pertahankan momentum belajar. Momentum belajar adalah momen, kesempatan, atau saat khusus tertentu di mana kelas sedang berada pada kondisi sangat kondusif dan terlibat aktif dalam proses pembelajar¬an. Setiap siswa bergiat untuk saling belajar. Mempertahan momentum belajar se¬lama proses pembelajaran merupakan salah satu kunci untuk menjaga tingkat keterlibatan belajar yang tinggi. Dalam kelas yang menjaga mo¬men¬tum dengan baik, siswa selalu memiliki sesuatu untuk dilakukan dan begitu pekerjaan dimulai tidak ada lagi gangguan yang merusak konsentrasi belajar.

3. Komponen Strategi Pembelajaran dan Teknik Pendukung
Dalam dunia pendidikan, strategi pembelajaran diartikan sebagai perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pembelajaran (Dick & Carey, 1985; Kemp, 1995; Sanjaya, 2006). Dari pengertian ini nampak bahwa strategi pembelajaran merupakan kegiatan terencana dengan mempertimbangkan dan memanfaatkan berbagai sumber daya (termasuk kondisi siswa, waktu, media dan sumber belajar lainnya) untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, strategi pembelajaran yang di¬pilih dan dipergunakan dengan baik oleh guru dapat men¬do¬rong siswa untuk aktif mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas, sebagai¬mana telah dinyatakan oleh Oxford (1990:1) bahwa pemilih¬an dan penggu¬naan strategi pembelajaran secara baik dapat berdampak pada me¬ningkatnya keteram¬pilan mengajar guru dan rasa percaya dirinya.
Berikut ini dipaparkan beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru di sekolah. Strategi tersebut adalah sebagai berikut.
3.1 Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based learning)
Strategi pembelajaran berbasis masalah adalah strategi pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu kon¬teks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan dan konsep esesial dari materi pelajaran. Pemikiran yang mendasari penggunaan pembel¬ajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang efektif tidak hanya menekankan pada pengua¬saan materi secara hapalan. Siswa harus terlibat secara psiko¬logis dalam men¬cerna secara bermakna apa yang dipelajari. Pencernaan bermakna hanya dimungkinkan terjadi bila siswa dapat mengerahkan proses berfikir tingkat tinggi, seperti pada level analisis, sintesis, dan evaluasi. Ka¬rena itu, guna merangsang siswa berpikir tingkat ting¬gi, mereka per¬lu di¬orien¬tasikan pada situasi ber¬masalah termasuk bagaimana belajar dengan meng¬¬gu¬¬na¬kan fenomena di dunia nyata sekitar.
Pembelajaran berbasis masalah dapat ditempuh melalui lima tahap sebagai berikut ini.
 Tahap 1: orientasi siswa kepada masalah.
Guru menje¬laskan tujuan pem¬belajaran dan logistik yang dibutuhkan, serta memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
 Tahap 2: mengorganisasi siswa untuk belajar.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorgani¬sasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
 Tahap 3: membimbing penyelidikan, baik yang dilakukan secara individual ataupun yang dilakukan secara kelompok.
Guru men¬¬dorong siswa untuk me¬¬ngum¬¬¬¬¬¬¬¬¬pulkan informasi yang sesuai dan me¬laksana¬kan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan peme¬cah¬an masalahnya
 Tahap 4: mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru memban¬tu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka mambagi tugas dengan temannya
 Tahap 5: menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu siswa me¬¬la¬¬ku¬kan refleksi atau evaluasi terhadap pe¬nye¬lidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.





3.2 Strategi Pembelajaran Inquiry
Strategi pembelajaran inquiry adalah metode pembel¬ajar¬¬an yang pertama kali dikembangkan oleh Bruner (1966) di mana siswa didorong untuk mengalami, mela¬kukan perco¬baan, dan menemukan sendiri prinsip-prinsip dan konsep yang diajarkan. Strategi pembelajaran inquiry memiliki bebe¬rapa keuntungan, seperti dapat membangkitkan curiosity, minat, dan motivasi sis¬wa untuk terus belajar sampai dapat menemukan jawaban. Di samping itu, melalui penerapan strategi inquiry, siswa juga dapat belajar memecahkan problem secara mandiri dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis se¬bab mereka harus menganalisis dan meng¬utak-atik informasi.




Secara operasional, pembelajaran inquiry dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan berikut:
 Sajikan situasi teka-teki (puzzling situation) yang sesuai dengan tahapan perkembangan siswa. Jelaskan prosedur inkuiri dan sajikan masalah.
 Minta siswa mengumpulkan informasi melalui observasi atau berdasar pengalaman masing-masing.
 Minta siswa menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gambar, bagan, tabel, atau karya lain.
 Minta siswa mengkomunikasikan dan menyajikan hasil karyanya, misal¬nya dalam bentuk penyajian di kelas, menePIBlkan di majalah dinding, menulis di koran, dsb.
 Dalam penyajian di kelas, bangkitkan tanggapan dan penjelasan siswa lain. Minta tanggapan balik (Counter-sugestions) dan selidiki tanggapan sis¬wa. Hadapkan mereka dengan demontrasi-demonstrasi tambahan un¬tuk mengeksplorasi lebih jauh fenomena.
 Ciptakan lingkungan yang dapat menerima jawaban salah tapi masuk akal. Selalu minta siswa memberi alasan atas jawaban-jawaban mere¬ka. Sajikan tugas-tugas yang berkaitan kemudian cermati dan beri balik¬an atas pemikiran-pemikiran yang diajukan siswa.




3.3 Strategi Pembelajaran Berbasis Proyek/Tugas
Strategi pembelajaran berbasis proyek/tugas (Project-Based Learning) adalah strategi pembelajaran yang ditandai dengan pengelolaan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pen¬dekatan ini memperkenalkan sis¬wa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruksi pembelajarannya, dan meng¬kulminasikannya dalam produk nyata.
Dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa diberikan tugas atau proyek yang kompleks, cukup sulit, lengkap, tetapi realistik dan kemudian di¬be¬rikan bantuan secukupnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas mereka.
Keuntungan yang dapat diperoleh melalui penerapan strategi pembel¬ajaran berbasis proyek/tugas ini adalah berkembangnya komptensi nurturant seperti kreativitas, kemandirian, kepercayaan diri, dan daya analisis.
Operasionalisasi pembelajaran berbasis proyek/tugas dilaksanakan berdasarkan empat prinsip, yaitu berikut:
a. Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantang
Guna mempertahankan tingkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, maka tugas yang diberikan kepada siswa harus cukup bermakna dan memiliki tujuan yang jelas. Siswa perlu me¬ngetahui dengan tepat apa yang mereka harus kerjakan, mengapa mereka mengerja¬kan pekerjaan itu, dan apa yang dibutuhkan untuk me¬nyele¬saikan pekerjaan itu.
b. Menganekaragamkan tugas-tugas
Pilihan tugas yang beraneka ragam dapat menam¬bah daya tarik siswa terhadap tugas yang diberikan, baik pekerjaan kelas maupun peker¬jaan rumah. Jika tugas belajar yang diberikan cu¬kup bervariasi, siswa dapat lebih termotivasi dan lebih terlibat aktif dalam menger¬jakannya. Pilihan mengenai tugas belajar tidak terbatas dan tidak ada alasan bagi guru untuk membuat jenis tugas yang sama dari hari ke hari.

c. Menaruh perhatian pada tingkat kesulitan
Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang dibe¬rikan kepada siswa merupakan satu bahan baku penting untuk menjamin ke¬terlibatan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas ter¬sebut. Jika siswa diharapkan untuk bekerja secara mandiri, tugas yang dibe¬ri¬kan seharusnya memiliki tingkat kesulitan yang menjamin kemungkinan berhasil tinggi. Siswa tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang diberikan guru terlalu mudah. Tugas yang baik perlu memiliki tingkat kesulitan cukup sehingga kebanyakan siswa memandangnya sebagai sesuatu yang menan¬tang, namun cukup mudah sehingga kebanyakan siswa akan menemukan pemecahannya dan mengerjakan tugas tersebut atas jerih payah sendiri.
d. Memonitor kemajuan siswa
Hal penting bagi guru adalah memonitor tugas-tugas pe¬kerjaan kelas dan pekerjaan rumah. Monitoring hendaknya meliputi penge¬cekan untuk me¬ngetahui apakah siswa memahami tugas mereka dan ¬proses kognitif yang terlibat. Monitoring juga termasuk pengecekan pekerjaan siswa dan me¬ngem¬balikan tugas dengan umpan balik. Dianjurkan agar guru me¬nyediakan waktu 5 atau 10 menit untuk berkeliling di antara siswa yang be¬kerja untuk memastikan apakah mereka memahami tugas yang diberikan. Apabila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok, maka guru hendaknya berada dalam kelompok-kelompok tersebut secara bergantian dan berkeliling di antara sis¬wa yang bekerja secara mandiri. Meskipun mengoreksi tugas menghabiskan waktu, guru perlu menyiapkan waktu untuk mengoreksi pekerjaan yang di¬buat siswa dan mengembalikan kepada mereka dengan umpan balik, ter¬masuk memberi reinforcement dalam bentuk reward bagi hasil karya yang baik dan catatan-catatan penyempurnaan bagi karya yang belum optimal.





3.4 Strategi Pembelajaran Kooperatif
Strategi pembelajaran kooperatif adalah metode pem¬bel¬ajaran di mana tugas-tugas belajar dikerjakan dalam bentuk kelompok. Siswa beker¬ja dalam ke¬lom¬pok kecil untuk saling membantu belajar satu sama lain. Strategi pem¬belajaran ini me¬¬mungkinkan pengembangan sejumlah kompetensi nurtu¬rant pada diri siswa, Beberapa efek nurturant yang dapat dihasil¬kan melalui penerapan metode ini, antara lain:
 Dapat mengembangkan keterampil¬an komunikasi, kerja¬sama, kepekaan sosial, tanggung jawab, tenggang rasa, penyesuaian sosial.
 Membangun persahabatan, rasa saling percaya, kebia¬sa¬an bekerja¬sama, dan sikap prososial
 Memperluas perspektif, keyakinan terhadap gagasan sendiri, rasa harga diri, dan penerimaan diri
 Memungkinkan sharing pengalaman dan saling mem¬ban¬tu dalam memecahkan masalah pembelajaran.
 Mengoptimalkan penggunaan sumber belajar dan pen¬ca¬¬paian hasil belajar.
Secara operasional, stratagi pembelajaran koperatif dapat diterapkan dengan berbagai metode, antara lain melalui metode Student Teams Achievement Divisions dan metode Investigasi Kelompok (Group Investigation).
Pelaksanaan metode Student Teams Achievement Divisions ditempuh dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
 Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota.
 Tiap tim memiliki anggota heterogen (jenis kelamin, ras, etnik, kemam¬puan belajar)
 Tiap anggota menggunakan lembar kerja akademik
 Tiap anggota saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalaui tanya jawab atau diskusi.
 Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu dilakukan evaluasi oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan yang telah dipelajari.
 Tiap siswa dan tiap tim diberi skor atas penguasaanya terhadap bahan ajar. Siswa atau tim yang merauh prestasi tertinggi atau mencapai standar tertentu diberi penghargaan.
Metode Invistigasi Kelompok dapat dilaksanakan dengen menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
 Seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik da¬lam satu wilayah masalah umum terkait dengan tujuan pembelajaran
 Organisasi siswa menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas yang beranggotakan 2 hingga 6 orang dengan komposisi heterogen
 Merencanakan kegiatan kerja sama. Siswa bersama guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas, dan tujuan umum yang sesuai dengan subtopik yang telah dipilih.
 Tahap implementasi. Siswa melaksanakan rencana yang telah disusun. Dorong siswa menggunakan berbagai sumber baik di dalam maupun di luar sekolah.
 Analisis dan sintesis. Siswa menganalisis dan mensinte¬siskan berbagai informasi yang diperoleh dan membuat ringkasan untuk disajikan di depan kelas.
 Penyajian hasil akhir. Setiap kelompok menyajikan hasil investigasi kel;ompoknya di depan kelas.
 Evaluasi. Guru beserta siswa melakukan evaluasi me¬ngenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup siswa secara individu atau secara kelompok, atau keduanya.
3.5 Strategi Pembelajaran Partisipatori
Strategi pembelajaran partisipatori merupakan strategi pem¬belajaran yang me¬¬nekankan pada pelibatan siswa untuk berpartisipasi dan ikut menentukan berbagai aktivitas pembel¬ajaran. Setiap siswa adalah subjek yang kepentingannya perlu diperhatikan dan diakomodasi dalam proses pembel¬ajaran. Pelibatan siswa dalam perencanaan dan penentuan berbagai pilihan tindakan pem¬belajaran dapat meningkatkan motivasi dan komitmen siswa untuk menekuni setiap tugas pembelajaran. Di samping itu, penggunaan strategi ini dapat men¬do¬rong berkembangnya jiwa demokratis serta kemampuan mengemu¬kakan dan menerima pendapat di kalangan siswa.
Pelaksanaan pembelajaran partisipatori dapat ditempuh melalui stra¬te¬gi sebagai berikut.
 Libatkan siswa dalam mem¬buat perencanaan dan pilihan tindakan yang diper¬lukan dalam proses pembelajaran. Misalnya, dalam memutuskan menge¬nai strategi umum yang perlu ditempuh, sumber-sumber dan alat-alat pem¬belajaran, cara-cara menye¬lesaikan tugas, bentuk dan tugas kelompok, ataupun ketentuan-ketentuan lain yang diperlukan.
 Gunakan berbagai teknik seperti brainstorming, meta-plan, diskusi kelom¬pok fokus untuk mendorong semua siswa mengemu¬kakan ide dan pen¬dapat masing-masing.
 Evaluasi setiap alternatif berdasarkan kelayakan (kemampuan, sumber¬daya, waktu, fasilitas), kemudian sepakati pilihan yang dapat diterima semua pihak. Dimungkinkan setiap individu atau kelompok memilih ca¬ranya masing-masing untuk mencapai tujuan sepanjang berkontribusi pada pencapaian tujuan pembelajaran.
 Dorong siswa melaksanakan alternatif tindakan secara konsisten, namun tetap memberi peluang dilakukannya refleksi, revisi, dan perubahan rencana tindakan.
3.6 Strategi Pembelajaran Scaffolding
Strategi pembelajaran Scaffolding merupakan praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky tentang assisted learning. Ini merupakan teknik pemberian dukungan belajar yang pada tahap awal diberikan secara lebih terstruktur, kemu¬di¬an secara berjenjang menuntun siswa ke arah kemandirian belajar. Vygotsky (Raymond, 2000, h. 176) membatasi pem¬belajaran scaffolding sebagai peranan guru dalam mendu¬kung perkem¬bangan siswa dan menye¬dia¬kan struktur dukungan untuk mencapai tahap atau level berikutnya.
Penggunaan strategi pembelajaran scaffolding bertu¬juan untuk mendorong siswa menjadi siswa yang mandiri dan mengatur diri sendiri (Self-regulating) (Hartman, 2002). Begitu pengetahuan dan kompetensi belajar siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi pemberian dukungan (Ellis, Larkin, Worthington). Jika siswa tidak mam¬pu men¬¬ca¬pai kemandirian, guru kembali ke sistem dukungan untuk mem¬bantu siswa memeroleh kemajuan sampai mere¬ka mampu mencapai keman¬dirian.
Keuntungan pembelajaran Scaffolding, dikemukakan oleh Bransford, Brown, dan Cocking (2000), sebagai berikut:
 Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
 Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh anak.
 Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan
 Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang diharapkan
 Mengurangi frustasi dan resiko
 Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
Hogan dan Presley (1997) mengemukakan lima teknik pembelajaran scaffolding, yaitu:
1) pemberian model peri¬laku yang diharapkan;
2) pemberian penjelasan;
3) mengundang siswa berpartisipasi;
4) menjelaskan dan meng¬¬klarifikasi pemahaman siswa;
5) mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.
Secara operasional, strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan seperti pada Gambar berikut. Kegitannya meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:
a) Membangun rapport (hubungan baik) dengan subjek didik yang akan diajar, sebagai basis hubungan kerja.
b) Menetapkan fokus belajar. Guru perlu mePIBroleh persetujuan mengenai tujuan-tujuan khusus dari setiap usaha/kegiatan yang akan dilaksanakan. Guru juga perlu mencatat beberapa dimensi belajar, seperti: harapan, kebutuhan, minat, dan keuntungan.
c) Mengecek hasil belajar sebelumnya (prior learning).
 Mengecek harapan, kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman siswa.
 Menetapkan titik awal memulai belajar baru.
 Menetapkan the zone of proximal development (ZPD atau level perkembangan berikut di atas level perkembangan saat kini untuk masing-masing siswa. Siswa kemudian dapat dikelompokkan menurut level perkembangan awal yang dimiliki dan atau yang membutuhkan ZPD yang relatif sama. Siswa dengan ZPD yang jauh berbeda dengan kemajuan rata-rata kelas dapat diberi perhatian khusus.
 Mengupayakan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki siswa sekarang menjadi lebih siap.
 Menyiapkan pengalaman sebagai basis bagi proses belajar selanjutnya dan untuk mengecek kemandiri¬an siswa menghadapi realitas.
 Menyiapkan bahan untuk pekerjaan belajar ulang ..
d) Merancang dan menyiapkan tugas-tugas belajar (aktivitas belajar scaffolding).
 Jabarkan secara eksplisit tujuan (harapan dan ekspektasi) dan kebijakan yang telah ditetapkan
 Spesifikasi aktivitas dan jadwal pelaksanaannya
 Masukkan pengertian mengenai kemajuan dan prestasi.
 Organisasi dan tentukan persyaratan-persyaratan yang diperlukan (sumber, perizinan, tanggung jawab, dsb)
e) Melaksanakan tugas pembelajaran
 Guru atau siswa menyiapkan scaffolding untuk aktivitas belajar.
 Siswa bertindak dan mendapatkan serta memproses dan menyajikan (kembali) informasi.
 Meminotor kemajuan pelaksanaan tugas dan aktivitas.
 Guru memediasi siswa melakukan tugas belajar.
d) Memantau dan memediasi aktifitas dan belajar.
 Dorong siswa untuk bekerja dan belajar diikuti dengan pemberian dukungan seperlunya. Kemudian secara bertahap guru mengurangi dukungan langsungnya dan membiarkan siswa menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
 Berikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda¬mata (reminders), dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat meman¬cing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.
e) Mengecek dan mengevaluasi hasil belajar:
 Melakukan refleksi terhadap aktivitas, proses, produk, pengalaman dan belajar.
 Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh: apakah siswa bergerak ke arah kemandirian dan pengaturan diri dalam belajar.
 Efektivitas proses belajar yang digunakan
 Diri siswa sebagai peserta didik (kesadaran, hambatan-hambatan internal apa yang dihadapi siswa dalam belajar dan mencapai kemandirian dalam belajar)
f) Mendorong dilakukannya transfer belajar.
 Mengenali peluang-peluang yang bisa digunakan untuk mentrasfer belajar.
 Mendorong siswa melakukan pengaturan diri dalam belajar (self regulated learning)
 Memantau kemajuan siswa dalam melakukan aktivitas belajar mandiri.
Untuk menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang telah dikemu¬ka¬kan, guru dapat memilih dan menempuh beberapa teknik khusus untuk mengaktifkan kelas. Berikut dikemukakan beberapa teknik khusus yang dipelukan untuk mendorong keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
1. Humor and joking, yaitu ungkapan-ungkapan atau cerita-cerita lucu, yang terkait dengan pokok bahasan, untuk memancing dan menumbuh¬kan rasa humor di kalangan siswa.
2. Ques¬tioning, yaitu menerapkan teknik-teknik bertanya yang tepat untuk memancing keterlibatan belajar siswa. Penerapan teknik bertanya yang tepat dapat menuntun siswa dalam megembangkan kemampuan berfikir kritis dan berfikir kreatif dalam mengurai suatu persoalan atau menemukan jawaban-jawaban kunci atas tugas belajar yang diberikan.
3. Brainstorming, yaitu teknik untuk memancing curah pendapat di kalang siswa terkait dengan isu-isu tertentu. Teknik ini dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, seperti penentuan tugas belajar, curah pendapat mengenai suatu kejadian atau isu, atau keperluan lain untuk mendorong keterlibatan aktif siswa. Teknik ini sangat baik untuk mengembangkan daya imajinasi dan kemampuan berpikir kreatif di kalangan siswa.
4. Educative touching, yaitu sentuhan akrab seperti tepukan tangan di pun¬dak atau usapan jari di kepala siswa. Jika dilakukan dengan baik di saat yang tepat, tindakan semacam ini dapat menimbulkan efek psikologis yang mendukung aktivitas belajar siswa. Sentuhan seperti itu dapat memberi semangat belajar saat siswa menyelesaikan tugas, memberi kesejukan hati saat mengalami kesulitan belajar, dan secara umum menunjukkan perhatian penuh guru atas aktivitas dan perilaku belajar siswa. Namun demikian, penggunaan sentuhan seperti ini, khusus ketika dilakukan terhadap lawan jenis, perlu mePIBrhatikan karakteristik setiap siswa, momen yang tepat, dan tingkat keakraban (rapport) yang telah terbangun antara siswa dan guru.
5. Kuis dan game, yaitu menghadirkan situasi permainan dalam membahas atau mePIBlajari pokok bahasan tertentu. Topik-topik tertentu akan lebih mudah dipahami dan menyenangkan untuk dipelajari siswa jika pembelajar¬annya dilakukan dalam bentuk kuis atau game tertentu.
6. Modeling, yaitu pemberian contoh atau peragaan terhadap kompetensi atau perulaku belajar tertentu yang diharapkan dikuasai oleh siswa. Siswa dapat lebih mudah memahami suatu pokok bahasan jika bagian-bagian yang menjadi unit pembelajarannya diberi contoh atau peragaan konkrit oleh guru.
7. Immediate feedback and rewards, contingent-specific-credible prise, yaitu pemberian balikan dan penghargaan kepada siswa segera setelah menunjuk¬kan kinerja belajar yang efektif. Teknik ini, jika dilakukan dengan tepat, dapat mendorong keter¬libatan belajar lanjut yang lebih intensif.
8. Independet practice dan seatwork, yaitu tugas-tugas belajar untuk diselesaikan secara mandiri oleh siswa, baik selama proses pembelajaran dalam kelas, ataupun sebagai tugas pekerjaan rumah.
9. Authentic assignment, yaitu memberikan tugas yang berkaitan langsung dengan dunia faktual yang ada di sekitar siswa. Ini bisa berupa pemberian tugas yang terkait dengan pengalaman pribadi siswa (Self-experience report) atau yang terkait dengan kejadian-kejadian yang terjadi, diamati, dan dialami setiap hari di lingkungan sekitar mereka (Neighbourhood walk assignment)
10. Small-group discussion, yaitu pemberian tugas belajar yang harus dikerjakan se¬cara bersama-sama oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil.

4. Komponen Media dan Sumber Belajar
Pembelajaran yang efektif perlu didukung berbagai media dan sumber pembelajaran. Bagian ini kerapkali terabaikan de¬ngan berbagai alasan seperti, terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar, sulit mencari media yang tepat, bi¬aya tidak tersedia dan sejumlah alasan lain. Alasan-alasan tersebut sebenarnya tidak perlu muncul, karena ada banyak jenis media dan sumber yang dapat digunakan, disesuaikan dengan kondisi waktu, keuangan maupun materi yang akan disampaikan. Setiap jenis media dan sumber memiliki karakteristik dan kemampuan dalam menayangkan pesan dan informasi (Kemp, 1985).

4.1 Jenis Media Pembelajaran
Menurut Heinich dkk. 1996, jenis media terbagi atas (1) media yang tidak diproyeksikan, (2) diproyeksikan, (3) audio, (4) video, dan (5) multimedia berbasis komputer.
1) Yang tergolong media yang tidak diproyeksikan antara lain:
 Realia: benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar.
 Model: benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda sesungguhnya.
 Bahan Grafis: gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan.
 Display: bahan pameran/display yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu.
2) Yang tergolong media yang diproyeksikan antara lain:
 Over Head Projector (OHP): alat untuk memproyeksikan gambar atau tulisan pada transparansi film.
 Slide projector: alat untuk memproyeksikan gambar atau tulisan pada film positif.
3) Media audio adalah berbagai cara untuk merekam dan menyampaikan suara untuk tujuan pembelajaran (media dengar). Kelebihan media audio adalah (a) fleksibel, (b) relatif murah, (c) ringkas, dan (d) mudah dibawa (portable). Di samping kelebihannya, terdapat pula kelemahan media audio, yakni (a) memerlukan peralatan khusus, dan (b) memerlukan kemampuan khusus untuk pemanfaatannya.
4) Media video adalah format media yang memanfaatkan tabung katoda/LCD untuk menayangkan pesan dalam bentuk animasi dan film. Kelebihan jenid media ini adalah (a) memanipulasi waktu dan ruang, (b) menampilkan objek yang terlalu kecil, besar, dan berbahaya, (c) cocok untuk mempelajari keterampilan motorik, dan (d) menyajikan gambar dengan lambat. Di samping kelebihannya, media ini juga mempunyai kelemahan yakni memerlukan peralatan dan kemampuan khusus untuk memanfaatkannya.
5) Media berbasis komputer media yang dioperasikan melalui komputer, yang biasa dikenal sebagai perangkat lunak (software). Kelebihan jenis media ini adalah (a) memungkinkan terjadinya interaksi siswa dan materi pelajaran, (b) proses belajar secara individual sesuai kemampuan siswa, (c) menampilkan unsur audiovisual, (d) langsung memberikan umpan balik, dan (e) menciptakan proses belajar yang berkesinambungan. Di samping kelebihannya, media ini juga mempunyai kelemahan, yakni peralatan untuk memanfaatkannya masih mahal, dan diperlukan keterampilan khusus untuk mengoperasikannya.
4.2 Unsur-Unsur Media Pembelajaran
Menurut Rohani dan Ahmadi (1990), media pembelajaran mengandung lima unsur. Kelima unsur media pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut.
1) Manusia
Manusia merupakan unsur yang menentukan keberhasilan penggunakan media dan sumber belajar, karena secara langsung menyampaikan informasi atau materi pembelajaran kepada siswa. Pada proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas, selain guru sebagai penyampai informasi kepada siswa, juga dapat dihadirkan orang lain yang berkoPIBten untuk menyampaikan informasi kepada siswa berkenaan dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Selain di dalam kelas, siswa dapat diberikan tugas mendatangi orang-orang tertentu di rumahnya atau di tempat kerjanya untuk mePIBroleh informasi yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan.

2) Materi dan Bahan Pembelajaran
Yang dimaksudkan materi atau bahan pembelajaran dalam media pembelajaran adalah segala sesuatu yang memuat informasi untuk disampaikan kepada siswa dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Secara garis besar bahan media pembelajaran dibagi atas dua bagian, yakni bahan cetak dan bahan non-cetak. Kedua bahan tersebut dapat dilihat beragam jenisnya seperti pada gambar berikut ini.



Pemanfaatan bahan sebagai media dan sumber belajar bagi siswa ada yang memerlukan alat penampil informasi (Radio, TV, Komputer, OHP, Proyektor Film/Slide) dan ada yang tidak. Bahan yang memerlukan alat penampil informasi seperti: Casete, film, CD/DVD, Slide dan transparansi. Bahan yang tidak memerlukan alat penampil antara lain: buku paket, koran, majalah, peta, globe, model, dan jurnal.
3) Lingkungan
Lingkungan sebagai media dan sumber belajar adalah tempat atau ruangan yang dapat digunakan oleh siswa untuk mePIBroleh informasi dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Ada tempat atau ruangan yang khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran, seperti: ruangan perpustakaan dan ruangan laboratorium. Sedangkan tempat atau ruangan yang tidak dirancang khusus untuk keperluan pembelajaran, tetapi dapat dimanfaatkan oleh siswa sebagai media dan sumber belajar, antara lain: gedung bersejarah, bangunan industri, pasar, lingkungan pertanian, panti asuhan, dan kebun binatang.
Untuk memaksimalkan pemanfaatan media dan sumber belajar dalam proses pembelajaran, sehingga dapat mengembangkan kecerdasan intektual (IQ), kecerdasar emosional (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ), maka terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yakni sebagai berikut.
1. Media dan sumber belajar hendaknya sesuai dengan komponen-komponen pembelajaran yang lain (tujuan pembelajaran, strategi pembelajaran, pengelolaan kelas, dan evaluasi).
2. Biaya yang diperlukan untuk dapat mengadakan/memanfaatkan suatu media dan sumber belajar hendaknya seminimal mungkin.
3. Media dan sumber belajar hendaknya praktis dan sederhana. Dalam arti: mudah didapatkan dan mudah dilaksanakan.
4. Media dan sumber belajar hendaknya fleksibel. Dalam arti: tidak paten, mudah dikembangkan atau dimodifikasi.
Ketepatan memilih media dan sumber dalam pembelajaran sangat bergantung pada pe¬nge¬tahuan dan pengalaman guru tentang ragam media, mulai dari yang sederhana sampai pada yang canggih. Pengetahuan dan pengalaman tersebut akan membantu guru dalam memilih dan menentu¬kan media yang sesu¬ai dengan materi pembelajaran, situasi serta kondisi yang ada.
Mengingat belajar merupakan proses siswa membangun gagasan pemahaman sendiri, maka penggunaan media dan sumber pembelajaran hendaknya mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru. Media dan sumber pembelajaran yang disediakan gu¬ru hendaknya dapat mendorong dan membantu siswa untuk melibatkan mental secara aktif melalui beragam kegiatan, seperti kegiatan mengamati, bertanya, mempertanyakan, menjelaskan, berkomentar, mengajukan hipote¬sis, mengumpulkan data, dan sejumlah kegiatan mental lainnya.
Pemilihan media dan sumber belajar perlu memprioritaskan penggu¬naan sumber otentik (authentic resources). Kalau sulit menyediakan sumber otentik, barulah menyediakan alternatif di bawahnya sepeni situasi buatan, atau alat audio-visual, atau alat visual, dan pembelajaran dengan pola audio (ceramah baru dipilih setelah keempat cara ini tidak mungkin disediakan).

5. Komponen Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan untuk menentukan pengambilan keputusan terhadap tingkat keberhasilan pencapaian koPIBtensi yang telah ditentukan.
Beberapa prinsip yang dijadikan patokan PIB di dalam melaksanakan evaluasi antara lain; (1) evaluasi dilakukan dengan tujuan menyeimbangkan pencapaian antara IQ, EQ, dan SQ melalui penggunaan berbagai model evaluasi, baik formal maupun nonformal secara berkesinambungan, (2) evaluasi merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik, (3) evaluasi merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan hasil belajar siswa, dan (4) evaluasi berorientasi pada Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator. Dengan demikian, hasilnya akan memberikan gambaran mengenai perkembangan pencapaian kompetensi.
Untuk mewujudkan pelaksanaan evaaluasi dengan baik, maka sistem evaluasi seharusnya disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan, evaluasi harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara maupun produk/hasil dengan melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.


DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa & Apresiasi Sastra. Malang: YA3 Malang.
Burns, Paul C. Betty D. Roe. Elinor P. Ross. 1996. Teaching Reading in Today's Elementary Schools. Boston: Houghton Mifflin.
Cooper, 1. David. 2000. Literacy. Helping Children Construct Meaning. Boston: . Haughton Miffin Company.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Standar Kompetensi Jakarta.
De Porter, Bobbi & Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Alwiyah Abdurahman. Bandung: Kaifa.
Darling, Linda dan Hammand. 2001. Authentic Assessment of Teaching in Context. (http:/www.Contextual.org/abs 2.htm. Diakses tanggal 29 Oktober 2001)
Gall, M.D. 1990. Toolsfor Learning: A Guide to Teaching Study Skills. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press
Kustiono. 1996. Intensitas Pemanfatan Sumber Belajar Lingkungan Msyarakat oleh Guru Sekolah dasar di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. Tahun 2, Nomor 1 &2, September 95 & 96.
Lemlech, Johana Kasin. 1994. Curriculum on Instructional Method for the Elementary and Middle School. New York: Macmillan College Publisher.
Mays, Pamela. 1985. Teaching Children through the Environment. London: Hodder
& Stoughton
Mclaughlin, Maureen. dan Maryellen Vogt. 1996. Portfolios in Teacher Education. United States: International Reading Associatio
Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual. Malang: Universitas Negeri Malang

0 komentar: