CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 14 Januari 2009

KRITERIA DAN KARAKTERISTIK SEKOLAH EFEKTIF

Dalam dua puluh tahun terakhir, beberapa negara di dunia aktif melakukan kajian terhadap topik sekolah efektif. Negara maju seperti Amerika Serikat bahkan telah melalui beberapa fase penting bagi perbaikan sistem persekolahannya yang ditandai dengan munculnya kajian sekolah yang baik (Postman & Weingartner, 1973; Frymier, Cornbleth, Donmoyer, Gansneder, Jeter, Klein, Schwab & Alexander, 1984) dan kajian mengenai sekolah unggul (Wayson, Mitchell, Pinnell & Landis, 1988).
Di Indonesia, sekolah efektif, baik sebagai bidang kajian maupun sebagai suatu gerakan, tampaknya belum begitu populer. Hal ini ditandai dengan masih terbatasnya penelitian yang dilakukan mengenai topik ini. Penelitian yang antara lain dirintis oleh Moedjiarto (1990) rupanya belum cukup untuk membangkitkan semangat peneliti untuk menggeluti bidang kajian ini. Sasaran strategi dasar kebijakan pendidikan nasional dalam pelita VI kepada peningkatan kualitas pendidikan (Depdikbud, 1993) tampaknya juga belum mampu merangsang upaya-upaya yang konsisten ke arah praktik sekolah efektif. Penyebab utama kondisi ini adalah adanya anggapan bahwa aspek-aspek proses persekolahan, meskipun dipandang penting, kurang memberi kontribusi terhadap hasil belajar siswa.
Di luar Indonesia, berkembangnya kajian sekolah efektif tidak terlepas dari terjadinya perubahan orientasi dalam melihat “hasil belajar” siswa. Sampai pada tahun 1970, sebagian peneliti masih berkeyakinan bahwa hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan (intake) siswa seperti karakteristik sosio-ekonomik, ras, latar belakang keluarga dan faktor materil seperti ukuran kelas/sekolah, besarnya anggaran, perpustakaan, dan perlengkapan. Sementara belakangan, terutama pada era 1980-an, muncul temuan-temuan baru yang menolak argumen tersebut. Meta-analisis yang dilakukan oleh Fuller (1987) terhadap kondisi pendidikan di dunia ketiga sedikitnya memberikan gambaran mengenai hal ini. Fuller menyimpulkan bahwa dengan sumber daya yang terbatas sekalipun, organisasi sekolah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap prestasi akademik sisiwa, terlepas dari faktor latar belakang keluarga.
Argumen terakhir itulah yang melandasi kajian sekolah efektif. Hal ini didukung oleh pernyataan Witte dan Walsh (1990) bahwa pada dasarnya proses, lingkungan persekolahan, dan struktur sekolah menyebabkan perbedaan dalam prestasi akademik siswa. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa proses pembelajaran terjadi dalam konteks, dan dalam skala besar dipengaruhi oleh, organisasi sekolah. Dengan demikian, prestasi akademik tidak dapat dijelaskan dengan hanya menganalisis pembelajaran dan proses kelas secara tersendiri, terpisah dari organisasi sekolah. Karena terdapat beberapa komponen sekolah yang diyakini berpengaruh terhadap proses pembelajaran di kelas. Komponen-komponen ini, menurut Hoy dan Miskel (1987) perlu berfungsi secara bersama untuk menjadikan sekolah lebih efektif.
Artikel ini merupakan suatu tinjauan terhadap berbagai kajian mengenai sekolah efektif. Secara khusus, artikel ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan kriteria dalam menentukan sekolah efektif, (2) mengungkapkan berbagai karakteristik proses persekolahan yang berkontribusi terhadap keefektifan sekolah, dan (3) mengungkapkan beberapa implikasi yang dapat ditarik bagi penelitian sekolah efektif di Indonesia.

KRITERIA SEKOLAH EFEKTIF
Istilah “keefektifan” mengacu kepada sejauh mana kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam konteks sekolah, hasil belajar seringkali dicerminkan dengan tingkat perolehan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dicapai oleh siswa. Dengan demikian, sekolah efektif adalah sekolah yang menunjukkan prestasi tinggi yang dicapai oleh siswa dalam bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Para penulis mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai pengertian hasil belajar. Perbedaan pemahaman ini pada gilirannya membawa implikasi pada penentuan kriteria sekolah efektif. Paling tidak ada dua kriteria utama yang dipakai untuk menentukan sekolah efektif. Pertama, kriteria sekolah efektif yang didasarkan pada tingkat perolehan pengetahuan (Slater & Tedlie, 1992; Stoll & Fink, 1992). Untuk mengukur tingkat perolehan pengetahuan itu, digunakan tes baku dan hasil tes sumatif siswa. Beberapa peneliti bahkan membatasi kriteria hasil pengetahuan dengan hanya memfokuskan pada nilai belajar di bidang matematika dan membaca yang diukur dengan tes baku. Pembatasan pada perolehan pengetahuan ini, apalagi dengan hanya melihat skor matematika dan membaca, merupakan kelemahan yang paling serius dari semua penelitian karena terlalu mempersempit pengertian sekolah efektif (Frymier, dkk. 1984).
Kedua, kriteria sekolah efektif yang didasarkan pada hasil belajar yang bersifat non pengetahuan. Beberapa aspek “hasil” yang berkenaan dengan kriteria ini adalah sikap/perilaku (Louis & Miles, 1991; Wayson, dkk., 1988), angka putus sekolah (Witte & Walsh, 1990), tingkat kehadiran, tingkat efisiensi, dan sikap positif terhadap sekolah (Mortimore, 1993). Kriteria kedua ini juga belum memadai dalam mendeskripsikan hasil belajar.
Penjelasan yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ewell dan Lisensky (1988). Kedua penulis ini membagi kriteria keefektifan ke dalam empat dimensi, yaitu: hasil kognitif, hasil keterampilan, hasil sikap/nilai, dan hubungan yang dibangun dengan berbagai pihak. Dimensi kognitif mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan bidang studi. Dimensi keterampilan meliputi: (1) keterampilan dasar (verbal, oral, kuantitatif, dan lain-lain), (2) keterampilan tingkat tinggi (pemecahan masalah, kreatif, hubungan manusia/organisasi, dan lain-lain), dan (3) keterampilan kejuruan/vokasional (keterampilan untuk melakukan pekerjaan khusus). Dimensi sikap/nilai meliputi: (1) tujuan dan aspirasi pribadi, (2) sikap umum, nilai dan kepuasan, (3) sikap terhadap diri (pengembangan identitas), dan (4) sikap terhadap orang lain. Dimensi keempat berkaitan dengan hubungan yang dibangun oleh para lulusan dengan almamater, dunia kerja/industri, organisasi profesi, dan masyarakat. Menurut Ewell dan Lisensky, dimensi-dimensi tersebut tidak secara kaku diterapkan untuk menentukan efektif tidaknya suatu lembaga, melainkan disesuaikan dengan misi lembaga yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pada tingkat sekolah umum, baik SD, SLTP maupun SMU, kriteria keempat kurang relevan digunakan sebagai dasar untuk menentukan sekolah efektif.

KARAKTERISTIK SEKOLAH EFEKTIF
Karakteristik sekolah efektif adalah aspek-aspek proses persekolahan yang berkontribusi terhadap hasil belajar siswa. Dari berbagai sumber, penulis mengidentifikasi dua kelompok kajian mengenai sekolah karakteristik sekolah efektif. Pertama, kajian yang memusatkan analisisnya terhadap karakteristik tertentu yang berkontribusi terhadap sekolah efektif, di antaranya adalah karakteristik budaya organisasi sekolah (Cheng, 1993), proses pembuatan keputusan (Taylor & Levine, 1991), perubahan organisasi dan manajemen (Louis & Miles, 1991), perilaku kepemimpinan kepala sekolah (Heck, Marcoulides & Lang, 1991), dan keefektifan pengajaran (Virgilio, Teddlie & Oesher, 1991). Kedua, kajian yang memusatkan pada berbagai karakteristik umum sekolah, seperti ditemukan dalam kajian Mortimore (1993), penelitian Moedjiarto (1990), dan penelitian Witte dan Walsh (1990). Dari ketiga sumber terakhir ini diidentifikasi berbagai karakteristik sekolah efektif yang meliputi: (1) iklim dan budaya sekolah, (2) harapan yang tinggi untuk berprestasi, (3) pemantauan terhadap kemajuan siswa, (4) kepemimpinan kepala sekolah, (5) keterlibatan orangtua dalam kegiatan sekolah, (6) kebebasan, tanggung jawab dan keterlibatan siswa dalam kehidupan sekolah, (7) ganjaran dan insentif, dan (9) pelaksanaan kurikulum. Karakteristik ini selanjutnya diuraikan secara singkat pada bagian berikut ini.



Iklim dan Budaya Sekolah
Iklim dan budaya organisasi sekolah termasuk karakteristik yang secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) sebagai contoh, menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi (cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal produktivitas, adaptasi dan keluwesan.
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim dan budaya sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai atu sama lain.

Harapan yang Tinggi untuk Berprestasi
Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990) dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi. Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan dala meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi akademik mereka.
Murphy (1985), Stedman (1985), McCormack-Larkin dan Kritek (1982) sebagaimana dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi dan peringkat, dan (5) pemberian perhatian probadi kepada siswa perorangan.

Pemantauan terhadap Kemajuan Siswa
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa karakteristik ini berhubungan secara signifikan dengan hasil belajar siswa. Penelitian Witte dan Walsh (1990) misalnya, menemukan bahwa karakteristik ini berkorelasi dengan prestasi belajar matematika dan membaca siswa.
Pemantauan terhadap kemajuan belajar siswa merupakan suatu prosedur vital, sebagai kegiatan pendahuluan untuk merencanakan siasat pengajaran, mengubah metode atau menambah/mengurangi beban kerja (Mortimore, 1993). Secara khusus, pemantauan terhadap kemajuan siswa yang dilakukan secara konsisten dan kontinyu berperan sebagai dasar untuk memberikan balikan kepada siswa (Reynolds, 1990). Dalam kaitannya dengan kriteria ini, perlu diperhatikan aktivitas pekerjaan rumah yang diberikan kepada siswa terutama yang berkaitan dengan: (1) seberapa banyak pekerjaan rumah yang selayaknya diberikan kepada siswa, dan (2) penilaian dan balikan yang diberikan (Witte & Walsh, 1990).

Kepemimpinan Kepala Sekolah
Karakteristik ini juga ditemukan yang paling konsisten hubungannya dengan prestasi belajar. Temuan penelitian Heck, dkk. (1991) menunjukkan bahwa prestasi akademik dapat diprediksi berdasarkan pengetahuan terhadap perilaku kepemimpinan pengajaran kepala sekolah. Menurut Townsend (1994), proses kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap semua aspek kinerja sekolah. Lebih spesifik, kepemimpinan pengajaran berperan dalam kegiatan pembinaan personil guru, perlindungan sekolah dari tekanan eksternal yang kurang mendukung, pemantauan prestasi sekolah, penyediaan waktu dan energi untuk perbaikan sekolah, pemberian dukungan kepada guru, dan pencarian sumberdaya ekstra untuk sekolahnya (Mortimore, 1993).
Proses kepemimpinan mencakup dua dimensi penting, yaitu beban kepemimpinan dan bentuk atau gaya kepemimpinan (Townsend, 1994). Beban kepemimpinan berkaitan dengan sejauhmana tanggung jawab kepemimpinan diambil alih atau didelegasikan oleh kepala sekolah terhadap semua aspek operasi sekolah. Bentuk kepemimpinan berkaitan dengan gaya kepemim-pinan yang digunakan oleh kepala sekolah, apakah otoritarian, hierakis, demokratis, berorientasi tugas atau berorientasi manusia. Adapun gaya kepemimpinan yang dikembangkan tergantung pada kondisi operasional sekolah. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan otokratik dan gaya yang terlalu demokratik kurang efektif dibandingkan dengan gaya kepemimpinan situasional (Mortimore, 1993).

Keterlibatan Orangtua dalam Kegiatan Sekolah
Lazar dan Darlington (1982) seperti dikutip oleh Mortimore (1993) memberikan bukti bahwa keterlibatan orangtua merupakan aspek penting bagi keberhasilan program pendidikan. Hal ini didukung oleh temuan penelitian Witte dan Walsh (1990) yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara keterlibatan orangtua dengan prestasi belajar matematika dan membaca pada jenjang SLTP dan SMU.
Schreens (1992) menilai bahwa keterlibatan orangtua merupakan stimulus eksternal yang memainkan peranan penting bagi peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Menurut Schreens, orangtua siswa dapat dianggap sebagai perwakilan para pemakai jasa pendidikan yang dapat mempengaruhi sekolah menjadi efektif. Peranan tradisional keterlibatan orangtua juga tidak boleh dilupakan, seperti kerja sama dengan sekolah dalam pemberian bimbingan belajar dan dalam menumbuhkan kedisiplinan kepada anak mereka.

Kebebasan, tanggung Jawab, dan Keterlibatan Siswa dalam Kehidupan Sekolah
Penelitian Moedjiarto (1990) menemukan bahwa karakteristik ini mempunyai korelasi dengan prestasi akademik siswa. Asumsi yang mendasari karakteristik ini adalah bahwa pembelajaran hanya mungkin terjadi bilamana siswa mempunyai pandangan yang positif terhadap sekolahnya dan peranan mereka di dalamnya (Moortimore, 1993). Dengan melibatkan siswa dalam kegiatan sekolah atau dengan memberikan tanggung jawab kepada mereka berarti guru berusaha menumbuhkan pada diri siswa rasa memiliki terhadap sekolah dan terhadap pembelajarannya sendiri. Bentuk keterlibatan siswa bisa bermacam-macam, tetapi secara umum dapat dilakukan melalui penyusunan program kegiatan kokurikuler sekolah dan dalam penyusunan kebijakan sekolah.

Ganjaran dan Insentif
Penelitian Moedjiarto menemukan signifikansi karakteristik ini. Dijelaskan oleh Reynolds (1990), sekolah yang sukses menyadari bahwa pemberian penghargaan jauh lebih penting ketimbang menghukum atau menyalahkan siswa. Hal ini dinilai oleh Reynolds sebagai suatu strategi motivasi yang penting untuk meningkatkan citra diri (self-mage) siswa dan berkembangnya atmosfir yang bersahabat dan suportif. Ganjaran dan insentif mendorong munculnya perilaku positif dan, dalam beberapa hal, mengubah perilaku siswa (dan juga guru).
Ganjaran dan insentif diberikan dalam beberapa cara. Mortomore, dkk. (1988) sebagaimana dikutip Mortimore (1993) mengidentifikasi beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah efektif dalam pemberian insentif , seperti memberi ganjaran kepada individu yang menunjukkan pekerjaan atau perilaku yang baik dan ganjaran yang diberikan berdasarkan prestasi dalam kegiatan olahraga dan sosial.

Tata Tertib dan Disiplin
Karakteristik ini sangat penting artinya dalam mewujudkan sekolah efektif melalui penciptaan kedisiplinan belajar. Penelitian Moedjiarto (1990) mengungkapkan bahwa karakteristik tata tertib dan kebijakan disiplin sekolah mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik siswa. Pada dasarnya tata tertib dan disiplin merupakan harapan yang dinyatakan secara eksplisit yang mengandung peraturan tertulis mengenai perilaku siswa yang dapat diterima, prosedur disiplin, dan sanksi-sanksinya (ESCN, 1987 seperti dikutip oleh Moedjiarto, 1990). Witte dan Walsh (1990) mengemukakan dua dimensi penting kedisiplinan yang dilaksanakan dalam sekolah efektif, yaitu: (1) persetujuan kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan disiplin sekolah, dan (2) dukungan yang diberikan kepada guru bilamana mereka melaksanakan peraturan disiplin sekolah.

Pelaksanaan Kurikulum
Sebagai inti dari program pendidikan, pelaksanaan kurikulum mempunyai kaitan erat dengan prestasi belajar siswa. Penelitian Moedjiarto (1990) membukti¬kan adanya hubungan antara pelaksanaan kurikulum dengan prestasi akademik siswa. Menurut Townsend (1994) pelaksanaan kurikulum mencakup isu: (1) kuali¬tas program yang diberikan, (2) keterlibatan guru dalam pengajaran, (3) harapan masyarakat sekolah, (4) teknik motivasi untuk memenuhi harapan ini, (5) alokasi waktu, (6) tipe pengajaran (klasikal, kelompok, ekskursi), (7) pemantauan kema¬juan belajar, (8) tingkat keterlibatan siswa dalam pembelajaran, dan (9) fasilitas belajar yang disediakan oleh sekolah. Lebih spesifik lagi, Murphy (1985), Stedman (1985), McCormack-Larkin dan Kritek (1982) sebagaimana dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan beberapa aspek yang berkaitan dengan karakteristik pelaksanaan kurikulum pada sekolah efektif, yaitu (1) adanya kesempatan belajar yang memadai yang diberikan kepada siswa, (2) kurikulum yang terkoordinasi, (3) pengajaran yang berlangsung secara aktif, dan (4) jelasnya fokus dan misi pendi¬dikan di sekolah itu.

BEBERAPA IMPLIKASI BAGI PENELITIAN SEKOLAH EFEKTIF DI INDONESIA
Meskipun kajian sekolah efektif telah dilakukan cukup lama, tidaklah berarti objek ini rnerupakan lahan yang sudah tertutup untuk diteliti. Sebaliknya, hasil-ha¬sil kajian yang telah dilakukan itu menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi para peneliti untuk menggeluti topik sekolah efektif. Tantangan ini untuk sebagian bersumber, dari sejumlah kritik yang dialamatkan kepada penelitian-penelitian ter¬dahulu. Sekurang-kurangnya ada empat kritik yang dilontarkan para ahli terhadap penelitian sekolah efektif. Pertama, kebanyakan penelitian sekolah efektif meng¬gunakan analisis rerata karakteristik yang membedakan sekolah efektif dan sekolah tidak efektif. Meskipun teknik ini dapat dibenarkan, tetapi analisis mean to mean tidak cukup memadai untuk menjelaskan variansi karakteristik sekolah efektif (Reynold, 1990).
Kedua, penelitian sekolah efektif yang dilakukan kebanyakan melibatkan jumlnh sampel sekolah yang terlalu kecil (Reynold, 1990; Witte & Walsh, 1990). Sebagai contoh, penelitian Moedjiarto (1990) hanya melibatkan 6 SMAN di Sura-baya, masing-masing tiga SMA di antaranya digolongkan sebagai sekolah efektif dan tiga lainnya digolongkan SMA tidak efektff. Jumlah ini jelas terlalu kecil karena yang menjadi unit analisis adalah sekolah. Jumlah yang kecil ini juga memungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh kesalahan sampling (sampling er¬ror).
Ketiga, penelitian yang telah dilakukan terlalu mengandalkan pengukuran kuantifikasi yang kaku (Witte dan Walsh 1990). Virgilio, Tedlie, dan Oesher (1991) mengemukakan, meskipun teknik ini bermanfaat dalam menarik kesimpulan, di masa depan studi mengenai sekolah efektif hendaknya perlu lebih detail, dengan mengumpulkan informasi kualitatif melalui pendekatan etnografi. Dengan kata lain, kebutuhan akan penelitian naturalistik di masa depan dipandang penting untuk menjawab pertanyaan fundamental yang selama ini terabaikan: Mengapa karakter¬istik keefektifan sekolah berkorelasi dengan hasil pendidikan? (Schreens, 1992).
Keempat, penelitian sekolah efektif sebelumnya terIalu difokuskan pada pres¬tasi akademik yang diukur dengan tes baku (Stoll dan Fink, 1992). Malahan, penelitian Moedjiarto (1990) menggunakan kriteria nilai rerata EBTANAS untuk mengelompokkan sekolah efektif dengan sekolah tidak efektif. Pengukuran de¬ngan menggunakan nilai EBTANAS ini, tidak hanya terkesan terlalu menyederha¬nakan makna hasil belajar, tetapi juga dapat menyesatkan karena masih adanya kemungkinan nilai EBTANAS dimanipulasi. Dalam hubungan itu Reynolds (1990) mengusulkan agar penelitian sekolah efektif di masa depan juga perlu didasarkan pada hasil belajar yang bersifat non-akademis.
Dari kritik-kritik itu, ada beberapa implikasi penting yang dapat direkomen¬dasikan bagi penelitian sekolah efektif di Indonesia:
1. Penelitian sekolah efektif di masa depan perlu lebih difokuskan pada teknik analisis yang tidak sekadar membandingkan rerata karakteristik sekolah efektif, melainkan pada penjelasan variabel hasil belajar berdasarkan sumbangan ma¬sing-masing karakteristik sekolah efektif yang dapat dilakukan antara lain de¬ngan menggunakan teknik analisis regresi ganda dan multivariat analysis of varians.
2. Karena unit analisisnya adalah sekolah, maka jumlah sampel sekolah dalam penelitian sekolah efektif hendaknya lebih besar dengan melibatkan berbagai kelompok sekolah, seperti sekolah perkotaan dan sekolah pedesaan, sekolah efektif dan sekolah tidak efektif, sekolah dasar hingga sekolah menengah, dan sebagainya.
3. Untuk mengatasi kekurangan pendekatan kuantitatif, maka seyogianya diper¬timbangkan penggunaan pendekatan peneIitian kualitatif, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pendekatan kuantitatif. Untuk Iingkup Indone¬sia, pendekatan kualitatif terasa sangat dibutuhkan oleh karena banyak aspek-as¬pek unik dengan segala variasinya yang diduga kuat mempengaruhi hasil belajar siswa, seperti budaya sekolah, visi kepemimpinan, kedisiplinan siswa, dan sebagainya. Dengan mengacu kepada pendapat Schreens (1992), temuan peneli¬tian kualitatif itu diharapkan dapat memberikan penjelasan substantif terhadap model sekolah efektif.
4. Kriteria untuk menentukan sekolah efektif tidak hanya terbatas pada prestasi akademik, melainkan berbagai dimensi hasil belajar. Untuk itu penelitian seko¬lah efektif di Indonesia seyogianya mengacu kepada sekurang-kurangnya tiga dari empat dimensi hasil belajar yang dikemukakan oleh Ewell dan Lisensky (1988), yaitu hasil kognitif, hasil keterampilan, dan hasil sikap/nilai.

KESIMPULAN
Penelitian sekolah efektif seyogianya didasarkan pada kriteria hasil kognitif, hasil keterampilan, dan hasil sikap/nilai. Di samping itu, penelitian sekolah efektif juga perlu menganalisis berbagai karakteristik sekolah yang berkontribusi bagi keefektifan sekolah. Akhirnya, kajian ini mengemukakan implikasi metodologis, seperti jumlah sample, teknik analisis, kriteria pengukuran sekolah efektif, dan penggunaan pendekatan kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian sekolah efektif di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Cheng, Y. C. 1993. Profiles of organizational culture and effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 4(2):85-110.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Empat Strategi Dasar Kebijakan Pendidik¬an Nasional. Seri Kebijaksanaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ewell, P. T. dan Lisensky, R. P. 1988. Assessing Institutional Effectiveness: Redirecting the Self-Study Process. Washington, DC: Consortium for the Advancement of Private Higher Education.
Frymier, J., Combleth, C., Donmoyer, R., Gansneder, B. M., Jeter, J. T., Klein, M. F., Schwab, M., dan Alexander, W. M. 1984. One Hundred Good School: A Report of the Good School Project. Indiana: Kappa Delta Pi.
Fuller, B. 1987. What school factor raise achievement in the third world? Review of Educational Research, 57(3):255-292.
Heck, R. H., Marcoulides, G. A. dan Lang, P. 1991. Principal instructional leadership and school achievement: the Application of discriminant tehcniques. School Effectiveness and School Improvement, 2(2): 115-135.
Hoy, W. K. dan Miskel, C. G. 1987. Educational Administration: Theory Research and Practice. (3rd ed.), New York: Random House.
Louis, K. S. dan Miles, M. B. 1991. Managing reform: lesson from urban high schools. School Effectiveness and School Improvement, (2):75-96.
Mortimore, P. 1993. School effectiveness and the management of effective learning and teaching. School Effectiveness and School Improvement; 4(4):290-310.
Moedjiarto. 1990. Persepsi terhadap Karakteristik yang Membedakan Sekolah Menengah Atas dengan Prestasi Aki:zdemik Tinggi dan Sekolah Menengah Atas dengan Prestasi Akademik Rendah di Surabaya. Disertasi. Tidak diterbitkan: Malang: Fakultas Pasca Sarjana Intitut Keguruan dan llmu Pendidikan Malang. - '
Postman, N. dan Weingartner, C. 1973. The School Book: For People who Want to Know what All the Hollering is about. New York: De1acorte Press. ,
Reynolds, D. 1990. Research on school/organizational effectiveness: The end of the beginning? dalam Rene Saran dan Vernon Trafford (1990). Research in Educa-tional Management and Policy: Retrospect and Prospect. London: The Farmer Press.
Scheerens, J. 1992. Effective Schooling: Research, Theory and Practice. London: Cassel.
Slater, R.O. dan Teddlie, C. 1992. Toward a theory of school effectiveness and leadership. School Effectiveness and School Improvement, 3(4):242-257.
Stoll, L. dan Fink, D. 1992. Effecting school change: the halton approach. School Effective¬ness and School Improvement, 3(1):19-41.
Taylor, B. O. dan Levine, D. V. 1991. Effective school project and school-based manage¬ment. Phi Delta Kappan, Januari. 394-397.
Townsend, T. J994. Effecting Schooling For the CommUllity. London and New York:, Routledge.
Virgilio, I., Teddlie, C., dan Oescher, I. 1991. Variance and context differences in teaching at differentialli effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 2(2):152-168.
Wayson, W. W., Mitchell, B. M., Piruiel, G. S., dan Landis, D. 1988. Up From Excellence: Impact of the Excellence Movement on Schools. Bloomington, Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Witte, J. F. dan Walsh, D. J. 1990, A systematic test of the effective school model. Educational Evaluation and Policy Analysis, 12(2):188-212.

0 komentar: